2.1 Pengertian deelneming atau keturutsertaan
(penyertaan)
Masalah mengenai penyertaan diatur
dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 KUHP berbunyi :
(1) “Dihukum sebai pelaku-pelaku dari suatu tindak
pidana yaitu:
1. Mereka yang
melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan tindak pidana.
2. Mereka yang dengan
pemberian-pemberian, atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan
kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana atau
keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakan orang lain untuk
melakukan tindak pidana yang bersangkutan.”
(2) Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini yang
dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan
sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain, berikut
akibat-akibatnya.
Sedangkan ketentuan pidana seperti yang telah diatur
dalam Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut:
“Dipidana sebagai pembantu-pembantu didalam melakukan
suatu kejahatan, yaitu :
1. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan
bantuan dalam melakukan kejahatan tersebut.
2. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan
kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan
tersebut.”
Dalam pasal 55 dan 56 KUHP ini banyak dijumpai
beberapa perkataan seperti dader (pelaku), plegen (melakukan),
doen plegen (menyuruh melakukan), medeplegen (turut
melakukan) dan perkataan lainnya.
Perkataan dader itu berasal dari pokok
perkataan daad, yang di dalam bahasa Belanda juga mempunyai arti yang
sama dengan perkataan het doen dan handelling, yang dalam bahasa Indonesia
juga mempunyai arti sebagai hal melakukan atau sebagai tindakan.
Orang yang melakukan suatu daad itu disebut
sebgai seorang dader, dan orang yang melakukan suatu tindakan itu dalam
bahasa Indonesia lazim disebut sebagai seorang pelaku.
Dalam ilmu pengetahuan pidana, tidaklah lazim orang
mengatakan, bahwa pelaku itu telah membuat suatu tindak pidana, atau bahwa
seorang pembuat itu telah membuat suatu tindak pidana, akan tetapi lazim
dikatakan orang adalah, bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak
pidana.
Dalam delik-delik formal yakni delik-delik yang dapat
dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya, yaitu setelah pelakunya itu
melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang ataupun segera
setelah pelaku tersebut tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh
undang-undang, untuk memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader
itu, memang tidak sulit. Oleh karena itu, van ECK mengatakan bahwa orang dapat
memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang pelaku dengan membaca
suatu rumusan delik.
Terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai siapa yang
harus dipandang sebagai seorang dader atau sebagai seorang pelaku di dalam
suatu delik material, oleh karena pendapat yang satu itu telah mendasarkan
pandangannya pada apa yang disebut aequivalentieleer, sedangkan pendapat
lainnya lagi telah mendasarkan pandangannya pada apa yang disebut adaequate
causaliteitsleer.
Seperti yang telah diketahui, didalam apa yang di
sebut aequivalentieleer itu, orang tidak membuat pebedaan antara apa
yang disenut “voor waarden voor een gevolg” atau “syarat-syarat untuk
dapat timbulnya suatu akibat” itu dengan apa yang disebut “oorzaak van
een gevolg” atau “penyebab dari suatu akibat”. Para penganut ajaran
ini berpendapat, bahwa setiap syarat yang memungkinkan timbulnya suatu akibat
itu dapat pula dipansang sebagai penyebab dari timbulnya suatu akibat.
Apabila kini seseorang telah menyuruh orang lain
membunuh seseorang lawannya dengan menggunakan sebilah pisau yang menurut orang
yang telah menyuruh membunuh itu, katanya dapat dipinjam dari seorang yang
lain, dan kemudian ternyata bahwa orang yang telah disuruh membunuh itu
melaksanakan pembunuhan terhadap lawan dari orang yang telah menyuruhnya
melakukan pembunuhan. Maka menurut penganut aequivalentieleer, orang
yang menyuruh membunuh dan orang yang telah meminjamkan pisau untuk membunuh
itu haruslah juga dipandang sebagai pelaku pembunuhan yang terjadi.
Dengan demikian, maka mereka yang menyuruh (doen
plegen), turut melakukan (medeplegen), yang menggerakkan orang lain
(uitlokken) ataupun yang memberikan bantuannya (medeplichtige)
untuk melakukan suatu delik material itu, menurut para penganut dari yang
disebut aequivalentieleer itu haruslah pula dipandang sebagai
pelaku-pelaku delik material yang secara langsung telah dilakukan oleh orang
yang telah disuruh.
Sedangkan adaequate causaliteitsleer itu, orang
berpendapat bahwa yang dapat dipandang sebagai penyebab suatu akibat hanyalah
tindakan-tindakan yang secara adekuatatau yang secara tepat/wajar/layak dapat
dipandang sebgai tindakan yang dapat menimbulkan akibat.
Dan orang yang tindakannya dapat dipandang sebagai
dapat menimbulkan suatu akibat seperti itu sajalah, yang didalam adaequate
causaliteitsleer dapat dipandang sebagai seorang dader/pelaku tindak pidana
material. Sedang tindakan yang tidsak memenuhi syarat seperti itu, doen
plegen/menyuruh melakukan, uitlokken/menggerakkan orang lain untuk
melakukan sesuatu dan medeplicktigheid, semuanya merupakan bentuk-bentuk
deelneming dan bukan merupakan daderschap.
Profesor SIMONS telah merumuskan pengertian mengenai
dader itu sebagai berikut: “Pelaku suatu tindak pidana itu adalah orang yang
melakukan tindak pidana yang besangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu
kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti yang disyaratkan oleh
undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh
undang-undang atau telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan
tindakan yang diwajibkan oleh undang-undang, atau dengan perkataan lain ia
adalah orang yang memenuhi semua unsur suatu delik seperti yang telah
ditentukan dalam undang-undang, baik itu merupakan unsur subjektif maupun unsur
objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana
tersebut timbul dari dirinya sendiri atau timbul karena digerakkan oleh pihak
ketiga”.
Menurut Prof. POMPE: “Yang harus dipandang sebagai
pelaku itu adalah semua orang yang disebutkan dalasm pasal 55 KUHP. Hal mana
telah dikuatkan oleh memori penjelasan dimana telah dikatakan bahwa semua orang
yang telah disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu adalah pelaku”.
2.2 Bentuk-bentuk DEELNEMING
Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan
yang ada menurut ketentuan-ketentuan pidana dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP
itu adalah:
a. Doen plegen atau menyuruh melakukan atau
yang juga sering disebut sebagai middellijk daderschap;
b. Medeplegen atau turut melakukan ataupun yang
sering disebut sebagai mededaderschap
c. Uitlokking atau menggerakkan orang lain dan
d. Medeplichtigheid atau pembantu
Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang
lain melakukan suatu tindak pidana itu biasanya disebut sebagai orang
middellijk dader atau seorang mettelbare tater, yang artinya seorang pelaku
tidak langsung. Ia disebut pelaku tidak langsung karena ia memang secara tidak
langsung melakukan sendiri tindak pidana, melainkan dengan perantara orang
lain.
Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP,
seorang middelijke dader atau seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi
hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada
pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada
pelaku materialnya itu sendiri.
Oleh karena dalam bentuk deelneming doen
plegen ini selalu terdapat seorang middelijke dader, maka bentuk deelneming
ini juga sering disebut sebagai suatu middelijke daderschap.
Untuk adanya suatu doen plegen seperti yang
dimaksudkan di dalam pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP itu, orang yang disuruh
melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu:
1. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak
pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningvatbaar.
2. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak
pidana mempunyai suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah
satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan
3. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu
tindakpidana itu sama sekali tidak mempunyai unsur schuld, baik dolus
maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet
seperti yang tela disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut.
4. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak
pidana itu memenuhi unsur oogmerk, padahal unsur tersebut telah
disyaratkan didalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana tersebut
diatas
5. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak
pidana itu telah melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht atau
dibawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang
tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan
6. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak
pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan,
padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak
berwenang memberikan perintah semacam itu
7. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak
pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu,
seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat
yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah tidak
perlu, bahwa orang yang telah menyuruh melakukan itu harus secara tegas
memberikan perintahnya kepada orang yang telah disuruhnya melakukan sesuatu
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah juga tidak
perlu, bahwa suruhan untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus diberikan
secara langsung untuk middelijke dader kepada orang materieele dader.
Melainkan ia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain.
Medeplegen disamping merupakan suatu bentuk deelneming,
maka ia juga merupakan suatu bentuk daderschap. Apabila seseorang itu
melakukan suatu tindak pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang dader
atau seorang pelaku. Apabila beberapa orang yang secara bersama-sama melakukan
suatu tindak pidana, maka setiap orang didalam tindak pidana itu dipandang
sebagai seorang mededader dari peserta atau peserta lainnya.
Misalnya tiga orang secara bersama-sama telah
melakukan perusakan terhadap fasilitas umum, yang oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman.
Menurut Prof. Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan
secara tegas bentuk-bentuk keturutsertaan yang telah dilakukan oleh seorang
tertuduh, oleh karena pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah terjadi
itu sendiri sebenarnya telah menunjukkan bentuk keturutsertaan yang dilakukan
oleh masing-masing peserta didalam suatu tindak pidana yang telah mereka
lakukan.
Menurut van Hamel, suatu medeplegen itu hanya
dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta didalam
suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu dadrschap
secara sempurna.
Menurut Prof. Van Hattum, perbuatan medepelegen
didalam pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen
atau suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu tindak pidana
yang dilakukan oleh orang lain.
Ini berarti bahwa suatu kesengajaan untuk turut
melakukan suatu culpoos delict itu dapat dihukum dan sebaliknya suatu
ketidaksengajaan turut melakukan sesuatu opzetettelijk atau suatu culpos
delict itu menjadi tidak dapat dihukum.
Ini berarti bahwa menurut Prof. Van Hattum opzet
seorang medeplegen itu harus ditujukan kepada :
a. Maksud untuk bekerjasama dengan orang lain dalam
melakukan suatu tindak pidana dan
b. Dipenuhinya semua unsur dari tindak pidana tersebut
yang diliputi oleh unsur opzet yang harus dipenuhi oleh pelakunya
sendiri, yakni sesuai dengan yang disyaratkan dalam rumusan tindak pidana yang
bersangkutan.
Menurut Prof. Legemeijer, baik orang yang mempunyai opzet
untuk membunuh koraban, maupun orang yang turut melakukan dengan maksud
semata-mata menganiaya koraban itu kedua-duanya harus dipersalahkan telah turut
melakukan suatu penganiayaan berat yang menyebabkan matinya oranglain.
Sebagai alasan telah dikemukakannya bahwa
bentuk-bentuk daderschap yang disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu harus
ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga bentuk-bentuk daderschap tersebut
harus disamakan dengan plegen.
Menurut Prof. Van Hattum, untuk adanya suatu medeplegen
itu tidak diperlkan adanya suatu kesamaan opzet pada masing-masing
peserta kejahatan.
Perbedaan medeplegen dengan medeplichtigheid
disebutkan dalam Memorie van toechlichting : “Yang membedakan seorang yang
turut melakukan dari seorang yang membantu melakukan itu adalah, bahwa orang
yang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut mengambil bagian
dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu
hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu
perbuatan atau turut melakukan perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang
bersangkutan; sedang orang yang disebutkan terakhir itu hanyalah memberikan bantuan
untuk melakukan perbuatan”.
Kedua bentuk ini mempunyai akibat yang berbeda-beda,
yaitu dihubungkan dengan jenis delik yang dapat menjadi objek dari kedua bentuk
deelneming tersebut. Pada medeplegen yang dapat dihukum adalah
turut melakukan baik kejahatan maupun pelanggaran, sedang pada
medeplichtigheid itu yang dapat dihukum hanyalah membantumelakukan
kejahatan saja. Oleh karena menurut pasal 60 KUHP itu, perbuatan membantu
melakukan pelanggaran dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang tidak dapat
dihukum.
Dewasa ini sudah tidak lagi menjadi persoalan, apakah
orang yang tidak mempunyai suatu “persoonlijke hoedanigheid” atau suatu
“sifat pribadi” itu dapat turut melakukan suatu Kwaliteitsdelict
atau tidak, oleh karena menurut paham yang terbaru, seseorang yang tidak
mempunyai kualitas tertentu yang oleh undang-undang telah disyaratkan
harus dimiliki oleh pelakunya itu, dapat saja turut melakukan apa yang
disebut kwaliteits delicten, hanya saja dengan satu syarat, yaitu bahwa
mereka itu mengetahui bahwa rekan pesertanya didalam melakukan suatu kwaliteitsdelict
itu memiliki kualitas seperti itu.
Bagi suatu medeplegen, seperti halnya dengan
suatu poging, diperlukan adanya suatu begin van uitvoering atau
suatu permulaan pelaksanaan, walaupun undang-undang sendiri telah
mensyaratkan hal tersebut secara tegas.
Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk
melakukan suatu tindakan dengan daya – upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan
penggerakkan yang inisiatif berada pada penggerak. Dengan perkataan lain, suatu
tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif tidak ada pada penggerak.
Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan harus dipidana sepadan
dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah
pelaku yang digerakkan itu sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu
sebelumnya untuk melakukan tindak pidana.
Syarat – syarat dalam bentuk penyertaan penggerak:
1. Kesengajaan penggerak ditujukan agar suatu tindakan
tertentu dilakukan oleh pelaku yang digerakkan.
Tujuan penggerakan itu adalah terwujudnya suatu tindak
pidana tertentu. Ini berarti apabila yang dilakukan oleh pelaku yang digerakkan
adalah tindak pidana lain, maka penggerak bukan merupakan petindak. Harus ada
hubungan kausal antara kesengajaan dengan tindak pidana yang terjadi.
Menurut undang – undang secara harafiah tidak ada
pengaruh dari kesengajaan yang ada pada penggerak, selama orang yang digerakkan
tidak melakukan tindakan yang digerakkan atau selama tindakannya hanya sampai
pada persiapan-pelaksanaan. Kesengajaan penggerak mempunyai pengaruh melalui
pasal 163 bis hanya dalam hal tindakan yang digerakkan merupakan kejahatan.
Bilamana tindakan yang digerakkan itu adalah pelanggaran, maka penggerak tidak
dapat dipidana.
2. Daya upaya untuk menggerakkan adalah tertentu
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.
Daya-upaya untuk menggerakkan adalah tertentu
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang yaitu suatu pemberian, suatu
perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau
dengan pemberian kesempatan, sarana atau keterangan.
a) Pemberian dan perjanjian, dirumuskan tanpa
memberikan suatu pembatasan. Pengertiannya menjadi luas yaitu dapat berbentuk
uang atau benda, bahkan di luar bentuk uang atau benda seperti misalnya
jabatan, kedudukan atau lebih luas lagi yaitu suatu janji yang akan membantu si
tergerak baik secara material maupun secara moril untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan dan lain sebagainya.
b) Penyalahgunaan kekuasaan, bukan saja terbatas pada
kekuasaan yang ada padanya karena jabatan, tetapi juga meliputi kekuasaan yang
dimiliki oleh penggerak secara langsung terhadap si tergerak, seperti hubungan
kekeluargaan, pekerjaan, pendidikan, kepercayaan, dan sebagainya. Ini harus
dibedakan dengan perintah jabatan yang termaksud pada pasal 52 KUHP. jika pada
perintah jabatan perbuatan tersebut termasuk wewenang dari penguasa, maka pada
penyalahgunaan kekuasaan tidak dipersyaratkan bahwa perintah itu termasuk
tindakan yang benar-benar diharuskan dalam rangka kekuasaan yang disalahgunakan
itu.
c) Penyalahgunaan martabat, merupakan suatu kekhususan
di Indonesia yang ditambah dalam KUHP yang di dalam W.v.S tidak ada. Contohnya
adalah kepala suku yang dipatuhi karena disegani.
d) Kekerasan, di sini harus sedemikian ringan sehingga
tidak merupakan suatu alasan untuk meniadakan unsur kesalahan/kesengajaan dari
si tergerak (pasal 48 daya paksa) yang mengakibatkan tidak dipidananya si
tergerak. Batas yang tegas antara kekerasan yang dimaksud di pasal 48 dan
menurut pasal 55 agak sukar ditentukan, karena undang – undang juga tidak
menentukan. Perbatasan ini lebih diserahkan kepada penafsiran, yang sedemikian
ringan sehingga menurut perhitungan layak, si tergerak mampu mengelak atau
menolak untuk melakukan tindak pidana yang digerakkan. Misal, seorang wanita
mendorong-dorong pacarnya untuk memukul bekas tunangannya yang pernah menyakiti
hatinya.
e) Ancaman, tidak terbatas pada ancaman kekerasan
seperti di atas, tetapi meluas juga sampai pada ancaman penghinaan, ancaman
pembukaan rahasia pribadi, ancaman akan memecat atau menyisihkan dari suatu
pergaulan, ancaman akan mengurangi hak/kewenangan tertentu, dan lain
sebagainya.
f) Penyesatan, ada juga yang menyebutnya tipu-daya,
tetapi agar tidak disamakan dengan penipuan dan kejahatan tipu-daya maka lebih
baik disebut penyesatan. Yang dimaksud penyesatan ialah agar supaya seseorang
tergerak hatinya untuk cenderung melakukan suatu tindakan sebagaimana yang
digerakkan oleh penggerak. Unsur kesengajaan harus ada pada orang yang
digerakkan. Contohnya A bilang pada B bahwa C telah menjelekkan nama B, yang
sesungguhnya tidak benar, karenanya B jadi marah dan memukul C. Akibat dari
penyesatan adalah untuk menimbulkan ketegangan dalam hati orang lain yang dapat
berupa iri hati, pembangkitan dendam terpendam, kebencian, amarah dan
sebagainya sehingga ia cenderung untuk melakukan suatu tindakan tetapi dalam
batas-batas bahwa ia sesungguhnya masih dapat mengendalikan diri sendiri.
g) Pemberian kesempatan, sarana atau ketenangan,
adalah merupakan cara untuk menggerakkan seseorang yang ketentuannya baru
ditambah tahun 1925 dalam KUHP. Dalam pasal 56 ke-2 yang berbunyi ”mereka yang
sengaja memberikan kesempatan, saran, atau keterangan untuk melakukan
kejahatan”, kadang agak sulit dibedakan dengan pasal 55.
Contoh: A memberi kesempatan (sarana/keterangan)
kepada B, kemudian B melakukan suatu tindak pidana, maka sehubungan dengan
pasal 55 dan 56 tersebut perbedaannya terletak pada:
· Jika pada A, keinginan atau kehendak untuk melakukan
suatu tindak pidana tertentu sudah ada sejak pertama kali, sedangkan pada B
baru ada setelah ia digerakkan dengan pemberian kesempatan (sarana/keterangan)
dan lalu b melakukan tindak pidana, maka kita berbicara mengenai bentuk
penyertaan penggerak (pasal 55). Dalam hal ini A adalah penggerak dan B yang digerakkan.
Tetapi jika pada B sejak semula sudah ada kehendak untuk melakukan suatu tindak
pidana tertentu dan ia minta kesempatan dan sebagainya dari A, di mana A
sengaja memberikannya dan diketahui bahwa kesempatan itu diperlukan oleh B
untuk melakukan suatu pidana tertentu, maka kita berbicara mengenai bentuk
penyertaan pembantuan (pasal 56). Dalam hal ini A adalah pembantu dan B
petindak/pelaku.
· Dalam kasus tersebut di atas, apakah B sebagai
tergerak atau sebagai petindak (pelaku) ancaman pidananya adalah sama, yaitu
dipidana (sama) sebagai petindak (dader), tetapi bagi A tidak demikian, karena
dalam hal bentuk penyertaan penggerakan ia dipidana sebagai petindak, tetapi
dalam hal bentuk penyertaan pembantuan ia dipidana sebagai pembantu – petindak
yang ancaman pidana maksimumnya dikurangi dengan sepertiganya.
3. Adanya orang yang digerakkan, dan telah melakukan
suatu tindakan karena daya-upaya tersebut.
Dalam penyertaan pergerakan harus selalu ada orang
yang digerakkan baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan antara penggerak
dengan orang lain itu tidak harus selalu langsung. Misalnya begini, A
menggerakkan B dan kemudian pada waktu dan tempat yang terpisah B bersama –
sama C melakukan tindakan yang dikehendaki oleh A. Dalam hal ini A tetap dipertanggungjawabkan
sebagai penggerak dari B maupun C. C dianggap telah turut tergerak melakukan
tindakan tersebut karena daya upaya A.
4. pelaku yang digerakkan harus telah melakukan tindak
pidana yang digerakkan atau percobaan untuk tindak pidana tersebut.
Hubungan kausal antara daya-upaya yang digunakan dan
tindak pidana yang dilakukan harus ada. Artinya justru si tergerak itu tergerak
hatinya untuk melakukan tindak pidana adalah karena daya – upaya dari
penggerak. Tindak pidana yang dikehendaki oleh penggerak harus benar – benar
terjadi. Seandainya tindakan tergerak hanya sampai pada suatu tingkat percobaan
yang dapat dihukum saja dari tindak pidana yang dikehendaki penggerak, maka
penggerak sudah dapat dipidana menurut pasal 55 ayat (2).
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan
ada 2 (dua) jenis, yaitu :
· Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara
bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat
kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun
perbedaannya terletak pada :
1. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat
membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan
pelaksanaan.
2. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi
bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau
berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta
sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan
sendiri.
3. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal
60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
4. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana
yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan
turut serta dipidana sama.
· Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang
dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan
dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya
pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah
ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam
penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan
oleh si penganjur.
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang
semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada
pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang
dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati
atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun
ada beberapa catatan pengecualian :
1. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat,
yaitu pada kasus tindak pidana :
· Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4)
KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,
· Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat
(Pasal 415 KUHP),
· Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).
2. Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat,
yaitu dalam hal melakukan tindak pidana :
· Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal
231 ayat (3) KUHP).
· Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal
349 KUHP).
Perlu diketahui bahwa disamping bentuk keturutsertaan
diatas itu, KUHP kita masih mengenal 2 bentuk keturutsertaan lainnya,
masing-masing:
a. Samenspanning atau permufakatan jahat
sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 88 KUHP dan
b. Deelneming aan eene vereniging die tot oogmerk
heft het plegen van misdrijven atau keturutsertaan dalam suatu kumpulan
yang bertujuan melakukan kejahatan-kejahatan sebagaimana yang telah diatur
dalam pasal 169 KUHP.
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kasus yang melibatkan lebih dari satu orang pelaku
disebut penyertaan, dan biasanya terdapat dalam kasus perampokan.
Perampokan adalah pencurian yang diketahui oleh orang
lain dan mengancam orang tersebut dengan kekerasan. Pada kasus di atas, pelaku
terdiri lebih dari satu orang, dan si pelaku utama mencuri dengan menggunakan
kekerasan.
Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP,
sedangkan pembantuan diatur dalam pasal 56,57 dan 60 KUHP . Menurut pasal 55
KUHP terdapat 4 yang dapat dikategorikan sebagai pelaku dalam tindakan
penyertaan yaitu:
1. Orang yang melakukan (dader)
2. Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)
3. Orang yang turut melakukan (mededader)
4. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker)
Untuk setiap orang yang melakukan,menyuruh
melakukan,turut melakukan dan sengaja membujuk memperoleh hukuman yang sama.
Turut serta memiliki hal yang berbeda dengan pembantuan. Dalam perbuatan turut
serta mengikat siapapun yang terlibat dalam tindak pidana tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
·
Prof. Moeljatno, S.H. Kitab
Undang Undang Hukum Pidana Bumi Aksara Jakarta 2003
·
Drs. P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia, 1997, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 583-585
·
Ibid, hlm. 590
·
Ibid, hlm. 615-633
·
E.Y. Kanter, S.H., dan S.R.
Sianturi, S.H., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Storia Grafika, Jakarta, 2002. hlm 350-359.
·
Brig. Jen. Pol. Drs. H. A. K. Moch.
Anwar, S.H., Hukum Pidana Bagian Khusus, 1982, Alumni, Bandung.
hlm.31-35
·
Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro Tindak
Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, 2003, Refika Aditama, Bandung. hlm.23