Pencarian

Kamis, 03 Oktober 2013

Turutserta Dalam Tindak Pidana



http://kabarinews.com/wp-content/uploads/2013/04/Kriminal.jpg
2.1 Pengertian deelneming atau keturutsertaan (penyertaan)
Masalah mengenai penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 KUHP berbunyi :
(1) “Dihukum sebai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu:
1.      Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan tindak pidana.
2.      Mereka yang dengan pemberian-pemberian, atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan.”
(2) Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.
Sedangkan ketentuan pidana seperti yang telah diatur dalam Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut:
“Dipidana sebagai pembantu-pembantu didalam melakukan suatu kejahatan, yaitu :
1. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebut.
2. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.”
Dalam pasal 55 dan 56 KUHP ini banyak dijumpai beberapa perkataan seperti dader (pelaku), plegen (melakukan), doen plegen (menyuruh melakukan), medeplegen (turut melakukan) dan perkataan lainnya.
Perkataan dader itu berasal dari pokok perkataan daad, yang di dalam bahasa Belanda juga mempunyai arti yang sama dengan perkataan het doen dan handelling, yang dalam bahasa Indonesia juga mempunyai arti sebagai hal melakukan atau sebagai tindakan.
Orang yang melakukan suatu daad itu disebut sebgai seorang dader, dan orang yang melakukan suatu tindakan itu dalam bahasa Indonesia lazim disebut sebagai seorang pelaku.
Dalam ilmu pengetahuan pidana, tidaklah lazim orang mengatakan, bahwa pelaku itu telah membuat suatu tindak pidana, atau bahwa seorang pembuat itu telah membuat suatu tindak pidana, akan tetapi lazim dikatakan orang adalah, bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana.
Dalam delik-delik formal yakni delik-delik yang dapat dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya, yaitu setelah pelakunya itu melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang ataupun segera setelah pelaku tersebut tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang, untuk memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader itu, memang tidak sulit. Oleh karena itu, van ECK mengatakan bahwa orang dapat memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang pelaku dengan membaca suatu rumusan delik.
Terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader atau sebagai seorang pelaku di dalam suatu delik material, oleh karena pendapat yang satu itu telah mendasarkan pandangannya pada apa yang disebut aequivalentieleer, sedangkan pendapat lainnya lagi telah mendasarkan pandangannya pada apa yang disebut adaequate causaliteitsleer.
Seperti yang telah diketahui, didalam apa yang di sebut aequivalentieleer itu, orang tidak membuat pebedaan antara apa yang disenut “voor waarden voor een gevolg” atau “syarat-syarat untuk dapat timbulnya suatu akibat” itu dengan apa yang disebut “oorzaak van een gevolg” atau “penyebab dari suatu akibat”. Para penganut ajaran ini berpendapat, bahwa setiap syarat yang memungkinkan timbulnya suatu akibat itu dapat pula dipansang sebagai penyebab dari timbulnya suatu akibat.
Apabila kini seseorang telah menyuruh orang lain membunuh seseorang lawannya dengan menggunakan sebilah pisau yang menurut orang yang telah menyuruh membunuh itu, katanya dapat dipinjam dari seorang yang lain, dan kemudian ternyata bahwa orang yang telah disuruh membunuh itu melaksanakan pembunuhan terhadap lawan dari orang yang telah menyuruhnya melakukan pembunuhan. Maka menurut penganut aequivalentieleer, orang yang menyuruh membunuh dan orang yang telah meminjamkan pisau untuk membunuh itu haruslah juga dipandang sebagai pelaku pembunuhan yang terjadi.
Dengan demikian, maka mereka yang menyuruh (doen plegen), turut melakukan (medeplegen), yang menggerakkan orang lain (uitlokken) ataupun yang memberikan bantuannya (medeplichtige) untuk melakukan suatu delik material itu, menurut para penganut dari yang disebut aequivalentieleer itu haruslah pula dipandang sebagai pelaku-pelaku delik material yang secara langsung telah dilakukan oleh orang yang telah disuruh.
Sedangkan adaequate causaliteitsleer itu, orang berpendapat bahwa yang dapat dipandang sebagai penyebab suatu akibat hanyalah tindakan-tindakan yang secara adekuatatau yang secara tepat/wajar/layak dapat dipandang sebgai tindakan yang dapat menimbulkan akibat.
Dan orang yang tindakannya dapat dipandang sebagai dapat menimbulkan suatu akibat seperti itu sajalah, yang didalam adaequate causaliteitsleer dapat dipandang sebagai seorang dader/pelaku tindak pidana material. Sedang tindakan yang tidsak memenuhi syarat seperti itu, doen plegen/menyuruh melakukan, uitlokken/menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu dan medeplicktigheid, semuanya merupakan bentuk-bentuk deelneming dan bukan merupakan daderschap.
Profesor SIMONS telah merumuskan pengertian mengenai dader itu sebagai berikut: “Pelaku suatu tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana yang besangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan yang diwajibkan oleh undang-undang, atau dengan perkataan lain ia adalah orang yang memenuhi semua unsur suatu delik seperti yang telah ditentukan dalam undang-undang, baik itu merupakan unsur subjektif maupun unsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau timbul karena digerakkan oleh pihak ketiga”.
Menurut Prof. POMPE: “Yang harus dipandang sebagai pelaku itu adalah semua orang yang disebutkan dalasm pasal 55 KUHP. Hal mana telah dikuatkan oleh memori penjelasan dimana telah dikatakan bahwa semua orang yang telah disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu adalah pelaku”.
2.2 Bentuk-bentuk DEELNEMING
Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut ketentuan-ketentuan pidana dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah:
a. Doen plegen atau menyuruh melakukan atau yang juga sering disebut sebagai middellijk daderschap;
b. Medeplegen atau turut melakukan ataupun yang sering disebut sebagai mededaderschap
c. Uitlokking atau menggerakkan orang lain dan
d. Medeplichtigheid atau pembantu
Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang mettelbare tater, yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut pelaku tidak langsung karena ia memang secara tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana, melainkan dengan perantara orang lain.
Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader atau seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri.
Oleh karena dalam bentuk deelneming doen plegen ini selalu terdapat seorang middelijke dader, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu middelijke daderschap.
Untuk adanya suatu doen plegen seperti yang dimaksudkan di dalam pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP itu, orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu:
1. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningvatbaar.
2. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan
3. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindakpidana itu sama sekali tidak mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang tela disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut.
4. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu memenuhi unsur oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan didalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana tersebut diatas
5. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht atau dibawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan
6. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu
7. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah tidak perlu, bahwa orang yang telah menyuruh melakukan itu harus secara tegas memberikan perintahnya kepada orang yang telah disuruhnya melakukan sesuatu
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus diberikan secara langsung untuk middelijke dader kepada orang materieele dader. Melainkan ia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain.
Medeplegen disamping merupakan suatu bentuk deelneming, maka ia juga merupakan suatu bentuk daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang dader atau seorang pelaku. Apabila beberapa orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap orang didalam tindak pidana itu dipandang sebagai seorang mededader dari peserta atau peserta lainnya.
Misalnya tiga orang secara bersama-sama telah melakukan perusakan terhadap fasilitas umum, yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman.
Menurut Prof. Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk-bentuk keturutsertaan yang telah dilakukan oleh seorang tertuduh, oleh karena pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah terjadi itu sendiri sebenarnya telah menunjukkan bentuk keturutsertaan yang dilakukan oleh masing-masing peserta didalam suatu tindak pidana yang telah mereka lakukan.
Menurut van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta didalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu dadrschap secara sempurna.
Menurut Prof. Van Hattum, perbuatan medepelegen didalam pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
Ini berarti bahwa suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu culpoos delict itu dapat dihukum dan sebaliknya suatu ketidaksengajaan turut melakukan sesuatu opzetettelijk atau suatu culpos delict itu menjadi tidak dapat dihukum.
Ini berarti bahwa menurut Prof. Van Hattum opzet seorang medeplegen itu harus ditujukan kepada :
a. Maksud untuk bekerjasama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak pidana dan
b. Dipenuhinya semua unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur opzet yang harus dipenuhi oleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang disyaratkan dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
Menurut Prof. Legemeijer, baik orang yang mempunyai opzet untuk membunuh koraban, maupun orang yang turut melakukan dengan maksud semata-mata menganiaya koraban itu kedua-duanya harus dipersalahkan telah turut melakukan suatu penganiayaan berat yang menyebabkan matinya oranglain.
Sebagai alasan telah dikemukakannya bahwa bentuk-bentuk daderschap yang disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga bentuk-bentuk daderschap tersebut harus disamakan dengan plegen.
Menurut Prof. Van Hattum, untuk adanya suatu medeplegen itu tidak diperlkan adanya suatu kesamaan opzet pada masing-masing peserta kejahatan.
Perbedaan medeplegen dengan medeplichtigheid disebutkan dalam Memorie van toechlichting : “Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebutkan terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan”.
Kedua bentuk ini mempunyai akibat yang berbeda-beda, yaitu dihubungkan dengan jenis delik yang dapat menjadi objek dari kedua bentuk deelneming tersebut. Pada medeplegen yang dapat dihukum adalah turut melakukan baik kejahatan maupun pelanggaran, sedang pada medeplichtigheid itu yang dapat dihukum hanyalah membantumelakukan kejahatan saja. Oleh karena menurut pasal 60 KUHP itu, perbuatan membantu melakukan pelanggaran dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang tidak dapat dihukum.
Dewasa ini sudah tidak lagi menjadi persoalan, apakah orang yang tidak mempunyai suatu “persoonlijke hoedanigheid” atau suatu “sifat pribadi” itu dapat turut melakukan suatu Kwaliteitsdelict atau tidak, oleh karena menurut paham yang terbaru, seseorang yang tidak mempunyai kualitas tertentu yang oleh undang-undang telah disyaratkan harus dimiliki oleh pelakunya itu, dapat saja turut melakukan apa yang disebut kwaliteits delicten, hanya saja dengan satu syarat, yaitu bahwa mereka itu mengetahui bahwa rekan pesertanya didalam melakukan suatu kwaliteitsdelict itu memiliki kualitas seperti itu.
Bagi suatu medeplegen, seperti halnya dengan suatu poging, diperlukan adanya suatu begin van uitvoering atau suatu permulaan pelaksanaan, walaupun undang-undang sendiri telah mensyaratkan hal tersebut secara tegas.
Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya – upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang inisiatif berada pada penggerak. Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif tidak ada pada penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan harus dipidana sepadan dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah pelaku yang digerakkan itu sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan tindak pidana.
Syarat – syarat dalam bentuk penyertaan penggerak:
1. Kesengajaan penggerak ditujukan agar suatu tindakan tertentu dilakukan oleh pelaku yang digerakkan.
Tujuan penggerakan itu adalah terwujudnya suatu tindak pidana tertentu. Ini berarti apabila yang dilakukan oleh pelaku yang digerakkan adalah tindak pidana lain, maka penggerak bukan merupakan petindak. Harus ada hubungan kausal antara kesengajaan dengan tindak pidana yang terjadi.
Menurut undang – undang secara harafiah tidak ada pengaruh dari kesengajaan yang ada pada penggerak, selama orang yang digerakkan tidak melakukan tindakan yang digerakkan atau selama tindakannya hanya sampai pada persiapan-pelaksanaan. Kesengajaan penggerak mempunyai pengaruh melalui pasal 163 bis hanya dalam hal tindakan yang digerakkan merupakan kejahatan. Bilamana tindakan yang digerakkan itu adalah pelanggaran, maka penggerak tidak dapat dipidana.
2. Daya upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.
Daya-upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang yaitu suatu pemberian, suatu perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan pemberian kesempatan, sarana atau keterangan.
a) Pemberian dan perjanjian, dirumuskan tanpa memberikan suatu pembatasan. Pengertiannya menjadi luas yaitu dapat berbentuk uang atau benda, bahkan di luar bentuk uang atau benda seperti misalnya jabatan, kedudukan atau lebih luas lagi yaitu suatu janji yang akan membantu si tergerak baik secara material maupun secara moril untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan lain sebagainya.
b) Penyalahgunaan kekuasaan, bukan saja terbatas pada kekuasaan yang ada padanya karena jabatan, tetapi juga meliputi kekuasaan yang dimiliki oleh penggerak secara langsung terhadap si tergerak, seperti hubungan kekeluargaan, pekerjaan, pendidikan, kepercayaan, dan sebagainya. Ini harus dibedakan dengan perintah jabatan yang termaksud pada pasal 52 KUHP. jika pada perintah jabatan perbuatan tersebut termasuk wewenang dari penguasa, maka pada penyalahgunaan kekuasaan tidak dipersyaratkan bahwa perintah itu termasuk tindakan yang benar-benar diharuskan dalam rangka kekuasaan yang disalahgunakan itu.
c) Penyalahgunaan martabat, merupakan suatu kekhususan di Indonesia yang ditambah dalam KUHP yang di dalam W.v.S tidak ada. Contohnya adalah kepala suku yang dipatuhi karena disegani.
d) Kekerasan, di sini harus sedemikian ringan sehingga tidak merupakan suatu alasan untuk meniadakan unsur kesalahan/kesengajaan dari si tergerak (pasal 48 daya paksa) yang mengakibatkan tidak dipidananya si tergerak. Batas yang tegas antara kekerasan yang dimaksud di pasal 48 dan menurut pasal 55 agak sukar ditentukan, karena undang – undang juga tidak menentukan. Perbatasan ini lebih diserahkan kepada penafsiran, yang sedemikian ringan sehingga menurut perhitungan layak, si tergerak mampu mengelak atau menolak untuk melakukan tindak pidana yang digerakkan. Misal, seorang wanita mendorong-dorong pacarnya untuk memukul bekas tunangannya yang pernah menyakiti hatinya.
e) Ancaman, tidak terbatas pada ancaman kekerasan seperti di atas, tetapi meluas juga sampai pada ancaman penghinaan, ancaman pembukaan rahasia pribadi, ancaman akan memecat atau menyisihkan dari suatu pergaulan, ancaman akan mengurangi hak/kewenangan tertentu, dan lain sebagainya.
f) Penyesatan, ada juga yang menyebutnya tipu-daya, tetapi agar tidak disamakan dengan penipuan dan kejahatan tipu-daya maka lebih baik disebut penyesatan. Yang dimaksud penyesatan ialah agar supaya seseorang tergerak hatinya untuk cenderung melakukan suatu tindakan sebagaimana yang digerakkan oleh penggerak. Unsur kesengajaan harus ada pada orang yang digerakkan. Contohnya A bilang pada B bahwa C telah menjelekkan nama B, yang sesungguhnya tidak benar, karenanya B jadi marah dan memukul C. Akibat dari penyesatan adalah untuk menimbulkan ketegangan dalam hati orang lain yang dapat berupa iri hati, pembangkitan dendam terpendam, kebencian, amarah dan sebagainya sehingga ia cenderung untuk melakukan suatu tindakan tetapi dalam batas-batas bahwa ia sesungguhnya masih dapat mengendalikan diri sendiri.
g) Pemberian kesempatan, sarana atau ketenangan, adalah merupakan cara untuk menggerakkan seseorang yang ketentuannya baru ditambah tahun 1925 dalam KUHP. Dalam pasal 56 ke-2 yang berbunyi ”mereka yang sengaja memberikan kesempatan, saran, atau keterangan untuk melakukan kejahatan”, kadang agak sulit dibedakan dengan pasal 55.
Contoh: A memberi kesempatan (sarana/keterangan) kepada B, kemudian B melakukan suatu tindak pidana, maka sehubungan dengan pasal 55 dan 56 tersebut perbedaannya terletak pada:
· Jika pada A, keinginan atau kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu sudah ada sejak pertama kali, sedangkan pada B baru ada setelah ia digerakkan dengan pemberian kesempatan (sarana/keterangan) dan lalu b melakukan tindak pidana, maka kita berbicara mengenai bentuk penyertaan penggerak (pasal 55). Dalam hal ini A adalah penggerak dan B yang digerakkan. Tetapi jika pada B sejak semula sudah ada kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu dan ia minta kesempatan dan sebagainya dari A, di mana A sengaja memberikannya dan diketahui bahwa kesempatan itu diperlukan oleh B untuk melakukan suatu pidana tertentu, maka kita berbicara mengenai bentuk penyertaan pembantuan (pasal 56). Dalam hal ini A adalah pembantu dan B petindak/pelaku.
· Dalam kasus tersebut di atas, apakah B sebagai tergerak atau sebagai petindak (pelaku) ancaman pidananya adalah sama, yaitu dipidana (sama) sebagai petindak (dader), tetapi bagi A tidak demikian, karena dalam hal bentuk penyertaan penggerakan ia dipidana sebagai petindak, tetapi dalam hal bentuk penyertaan pembantuan ia dipidana sebagai pembantu – petindak yang ancaman pidana maksimumnya dikurangi dengan sepertiganya.
3. Adanya orang yang digerakkan, dan telah melakukan suatu tindakan karena daya-upaya tersebut.
Dalam penyertaan pergerakan harus selalu ada orang yang digerakkan baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan antara penggerak dengan orang lain itu tidak harus selalu langsung. Misalnya begini, A menggerakkan B dan kemudian pada waktu dan tempat yang terpisah B bersama – sama C melakukan tindakan yang dikehendaki oleh A. Dalam hal ini A tetap dipertanggungjawabkan sebagai penggerak dari B maupun C. C dianggap telah turut tergerak melakukan tindakan tersebut karena daya upaya A.
4. pelaku yang digerakkan harus telah melakukan tindak pidana yang digerakkan atau percobaan untuk tindak pidana tersebut.
Hubungan kausal antara daya-upaya yang digunakan dan tindak pidana yang dilakukan harus ada. Artinya justru si tergerak itu tergerak hatinya untuk melakukan tindak pidana adalah karena daya – upaya dari penggerak. Tindak pidana yang dikehendaki oleh penggerak harus benar – benar terjadi. Seandainya tindakan tergerak hanya sampai pada suatu tingkat percobaan yang dapat dihukum saja dari tindak pidana yang dikehendaki penggerak, maka penggerak sudah dapat dipidana menurut pasal 55 ayat (2).
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
· Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada :
1. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
2. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
3. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
4. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.
· Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian :
1. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana :
· Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,
· Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
· Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).
2. Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan tindak pidana :
· Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).
· Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP).
Perlu diketahui bahwa disamping bentuk keturutsertaan diatas itu, KUHP kita masih mengenal 2 bentuk keturutsertaan lainnya, masing-masing:
a. Samenspanning atau permufakatan jahat sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 88 KUHP dan
b. Deelneming aan eene vereniging die tot oogmerk heft het plegen van misdrijven atau keturutsertaan dalam suatu kumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan-kejahatan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 169 KUHP.
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kasus yang melibatkan lebih dari satu orang pelaku disebut penyertaan, dan biasanya terdapat dalam kasus perampokan.
Perampokan adalah pencurian yang diketahui oleh orang lain dan mengancam orang tersebut dengan kekerasan. Pada kasus di atas, pelaku terdiri lebih dari satu orang, dan si pelaku utama mencuri dengan menggunakan kekerasan.
Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP, sedangkan pembantuan diatur dalam pasal 56,57 dan 60 KUHP . Menurut pasal 55 KUHP terdapat 4 yang dapat dikategorikan sebagai pelaku dalam tindakan penyertaan yaitu:
1. Orang yang melakukan (dader)
2. Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)
3. Orang yang turut melakukan (mededader)
4. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker)
Untuk setiap orang yang melakukan,menyuruh melakukan,turut melakukan dan sengaja membujuk memperoleh hukuman yang sama. Turut serta memiliki hal yang berbeda dengan pembantuan. Dalam perbuatan turut serta mengikat siapapun yang terlibat dalam tindak pidana tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
·         Prof. Moeljatno, S.H. Kitab Undang Undang Hukum Pidana Bumi Aksara Jakarta 2003
·         Drs. P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 583-585
·         Ibid, hlm. 590
·         Ibid, hlm. 615-633
·         E.Y. Kanter, S.H., dan S.R. Sianturi, S.H., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002. hlm 350-359.
·         Brig. Jen. Pol. Drs. H. A. K. Moch. Anwar, S.H., Hukum Pidana Bagian Khusus, 1982, Alumni, Bandung. hlm.31-35
·         Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro Tindak Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, 2003, Refika Aditama, Bandung. hlm.23