Pencarian

Sabtu, 05 Oktober 2013

Makalah Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia



HUKUM ISLAM
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
http://chairul.blog.republika.co.id/files/2012/12/sejarah-islam.jpg
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa yang akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini.

B. Tujuan Pembahasan
Agar Penulis dan Pembaca dapat lebih memahami sejarah masuknya islam di Indonesia. Dan Politik Islam yang ada pada masa pendudukan indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda.

BAB II PEMBAHASAN
      A  .          MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi. Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab.
Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalifah Utsman.
Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan
pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum pemberontak di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II.[1]

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an. Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan (perkampungan Arab Islam) tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka (para pedagang Arab Islam ini) bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Buddha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para sahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib.

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Buddha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat India Sebagai Tempat Singgah
Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.



B. POLITIK ISLAM MASA HINDIA BELANDA
1. Datangnya Belanda Ke Indonesia
Terhitung mulai bulan april tahun 1595, empat aramada kapal  Belanda dibawah komando Corniles Dehoutman  berlayar menuju kepulauan Melayu, dan tiba di Jawa barat (pelabuhan Banten) pada bulan juni 1596.  Menurut  Dr. Muqaddam Khalil M.A mereka sengaja mendarat di Banten, karena daerah tersebut dianggap tidak ada pengaruh portugis[2]. Adapun tujuan mereka datang ke Indonesia ialah untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mencari rempah-rempah yang kemudian akan dijual di Negara mereka. Keberhasilan orang Belanda dibawah komando dehoutman membuat orang Belanda makin tertarik untuk mengembangkan dagangannya di Indonesia, maka pada tahun 1598 angkatan kedua dibawah pimpinan Van Nede Van Haskerck dan Van Warwisk datang ke Indonesia.
Kedatangan Belanda yang bertepatan dengan melemahnya pertahanan maritim dari kesultanan-kesultanan Indonesia yang diakibatkan banyaknya peperangan yang dilakukan oleh kesultanan Indonesia dalam usahanya menutup lautan Indonesia dari perluasan wilayah imprialis Portugis, menjadikan Belanda lebih Mudah menguasai perdagangan di Indonesia. sehingga pada tahun 1599 armada Belanda kembali datang ke Indonesia di bawah pimpinan van de Hagen dan pada tahun 1600 dibawah pimpinan van Neck.[3]
Melihat hasil yang diperoleh begitu besar, pada bulan maret 1602 Pemerintah Belanda memberi hak khusus kepada para perseroan gabungan dan mengesahkannya. Perseroan gabungan tersebut di beri hak penuh untuk berdagang, dan memegang kekuasaan antara tanjung harapan dan kepulauan Solomon, termasuk kepulauan nusantara yang dikenal dengan V.O.C (Vereenedge Oost Indische Compagnie), dan diberi hak untuk melakukan kegiatan politik dalam rangka menunjang usaha perdagangannya, dan sejak itulah Belanda perlahan-lahan menguasai wilayah Indonesia.
Hak politik itu diberikan bisa jadi merupakan sebuah strategi Belanda untuk memudahkan dan bisa memegang kekuasaan di di wilayah yang didudukinya termasuk Indonesia, oleh karena itu, betul jika dikatakan bahwa sejak petengahan abad -16 Imprialis Belanda berusaha mewujudkan pemerintahan yang kuat di Indonesia yang dapat melindungi transportasi dan perdagangannya. akan tetapi, umat Islam melalui kesultanan-kesultananya dan juga perlawannya berhasil menunda keinginan Belanda tersebut hingga dua abad kemudian.
Keberhasilan Umat Islam menunda keinginan Belanda untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang utuh banyak disebabkan oleh adanya perlawanan kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia, salah satunya ialah yang terjadi pada masa Sultan Agung, yang secara berturut-turut melakukan penyerangan ke Batavia. Selain itu, sifat Sultan Agung Tritayasa yang sangat membenci Belanda adalah sebuah bentuk perlawanan Islam yang juga dapat menunda keinginan Belanda.
Akan tetapi kekuatan militer Belanda yang dilengkapi dengan senjata canggih dapat menggagalkan perlawanan umat Islam, sehingga Belanda berhasil mewujudkan pemerintahan yang utuh, yaitu setelah dibubarkannya VOC pada tahun 1798, yang kemudian dikenal dengan pemerintahan Hindia Belanda. Keberhasilan tersebut membuat Belanda lebih leluasa menentukan sebuah kebijakan politik di Indonesia. dalam hal kebijakannya terhadap umat Islam terdapat tokoh yangat berperan dalam menentukan kebijkan tersebut yaitu Sanough Horgronye.
2. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Sistem tanam paksa ini adalah salah satu kebijakan yang diterapkan Hindia Belanda kepada masyarakat Indonesia secara umum.
Meskipun di Jawa pemberontakan besar-besaran di bawah panji Islam telah berhenti setelah perang diponogoro, frekuensi pemberontakan petani-petani di bawah pimpinan Islam setempat makin meningkat,[4] sehingga pemerintah Hindia Belanda dengan demikian mengaharuskan membuat arah politik baru tentang masalah-masalah-masalah Islam.
Berdasar latar belakan itulah, pada tahun 1889 seorang negarawan kolonial Belanda “Snouck Hurgronje” yang mengetahui secara mendalam tentang Islam diangkat menjadi penasehat untuk masalah-masalah arab pribumi. Pemahaman Snouck Hurgronje tentang hakikat Islam di Indonesia sangat membantu terhadap keberhasilan Hindia Belanda  untuk mengarahkan kebijakan politiknya terhadap Islam.
Semenjak itulah pemerintah Belanda atas nasehat Snouck Hurgronje memiliki kebijakan politik yang jelas terhadap Islam yang dikenal dengan “Islam Politiek” yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani Islam di Indonesia. Kebijakan tersebut antara lain:
Asosiasi Keagamaan
Snouck yang telah banyak mengetahui tentang Islam, dalam mengusulkan sebuah kebijakan yang melawan ketakutan Belanda terhadap Islam, dengan menilai secara realitas tempat di dalam masyarakat Indonesia, Snouck selantunya menawarkan suatu sikap toleransi yang dijabarkan dalam sikap netral terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, atas penjelasan Snouck pemerintah Belanda memberikan “kebebasan beragama” termasuk dihilangkannya rintangan naik haji ke Mekkah. Meski demikian, Snouck mengaskan bahwa Islam sama sekali tidak bisa dianggap remeh baik sebagai agama maupun sebagai kekuatan politik.
Akan tetapi, hubungan pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa dilepaskan dari hubungan antar hubungan umat beragama (umat Islam dan katolik), hal ini terlihat jelas pada hubungan Islam - katolik yang melatar belakangi hubungan Indonesia-Belanda. Kaum elit Belanda yang umumnya beragama kristen ternyata tidak mampu memperlakukan pribumi yang umumnya beragama Islam sama dengan pribumi yang beragama kristen, umat Islam seringkali mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan umat kristen yang dianggapnya bagian dari Eropa.
Perlakuan yang kurang nertal tersebut menimbulkan kritik tajam di kalangan umat Islam, umat Islam memandang pemerintah kolonial melancarkan kertenisgspolitik, yaitu kebijaksanaan kebijaksanaan yang menonjang kristenisasi.[5] hal itulah yang menjadi salah satu sebab umat Islam (Kaum santri) selalu tidak setuju dengan pemerintah, dan menilainya sebagai kafir.
 Asosiasi kebudayaan
Dalam hal ini, menurut Snouck pertama, Belanda harus memisahkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik, karena makin jauh kedua hal tersebut akan mempercepat proses kehancuran Islam. Untuk mencapai maksud tersebut pemerintah harus menghidupkan golongan pemangku adat karena mereka ini akan menentang Islam[6]. Kedua, Belanda juga harus mengadakan kerja sama kebudayaan Indonesia - Belanda. Ketiga, operasi militer ke daerah pedalaman dan menindak secara kekerasan terhadap para ulama, dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk merekrut para santrinya  sebagai pasukan suka rela. Keempat, Terhadap orang awam, pemerintah harus meyakinkan bahwa Belanda tidak memusuhi agama Islam dan bahkan melindungi agama Islam.[7]
Asosiasi pendidikan
Dalam bidang pendidikan permerintah Hindia Belanda menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi, sehingga Hindia Belanda menformalisasikan pendidikan barat sebagai faktor yang akan mengahancurkan Islam di Indonesia, dalam hal ini Snouck sangat optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan barat, dan ia mengangap agama ini beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi. Akan tetapi pada kenyataannya, ramalan Snouck tersebut malah terbalik, hal itu disebabkan munculnya ide modernisasi Islam yang menjalar kepada umat Islam. Snouck ternyata juga belum memperhitungkan kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri.[8] Sehingga dengan kebijakan tersebut, muncullah nasionalis Islam yang belajar ilmu barat kemudian menjadi musuh bagi Belanda.
Selain itu, kesadaran bahwa pemerintah ‘Hindia Belanda adalah Pemerintah kafir yang menjajah agama mereka (khususnya tertanam di benak para santri) sebagian umat islam indonesia (kaum santri) mengambil sikap anti Belanda.  Pesantren yang pada waktu itu merupakan pusat pendidikan Islam mengharamkan menerima gaji guru dari pemerintah, karena dinilainya haram. Sikap konfrotasi kaum santri tersebut dengan segala kekuarangan dan kelemahannya berhasil mempertahankan identitas keislaman sehingga mengharuskan Belanda membuat kebijakan kebijakan yang mengekang umat Islam antara lain: Pertama: ordonansi guru, yaitu suatu kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang mengharuskan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu utnuk melaksanakan tugasnya sebagai guru agama.[9] Kebijakan ini menibulkan banyak reaksi umat Islam baik dari kaum pribumi maupun dari organisasi Islam seperti Muhammadiyah. Kedua, Ordonansi sekolah liar, kebijakan ini dikeluarkan oleh pihak Belanda karena menjalarnya pendidikan Islam swasta yang dianggapnya mengancam pihak Belanda, dengan begitu Belanda melarang mendirikan sekolah-sekolah tanpa izin pemerintah, kebijakan ini mendapat kritik keras oleh tokoh pendidikan Ki Hadjar. Partai politik turut mendukung protes tersebut dan memperjuangkanya di Volksraad. Begitu juga dengan surat-surat kabar saat itu. Akhirnya pada 1935, setelah dua tahun mengalami proses alot, ordonansi sekolah liar dihapuskan.[10]
BAB III PENUTUP
      A.    KESIMPULAN
Telah disinggung diatas, bahwa pengetahuan Snouck Hungroye tentang umat Islam di Indonesia membuatnya sangat optimis bahwa “kebijakan-kebijakan” yang diambilnya akan berhasil, akan tetapi ramalan tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa yang ia duga. System politik yang pada awalnya diarahkan untuk mematahkan peranan umat Islam dalam bidang politik, ekonomi dan sosial, ditambah dengan dilancarkannya politik kristenisasi menyebabkan beragam respon, pertama umat Islam berupa usaha perbaikan agama, ekonomi, politik dan sosial. Wujud dari respon tersebut antara lain timbulnya orgainisasi Islam seperti Serikat Islam 1906), Muhammadiyah (1912), Perserikatan Ulama (1916) Persis (1923),  NU (1926), kemudian atas prakarsa NU dan MD pada tahun 1937 dibentuk MIAI.
Munculnya organisasi tersebut salah satunya adalah disebabkan oleh ide-ide barat yang diperkenalkan melalui kebijakan-kebijakan Hindia Belanda kepada sebagian umat Islam Indonesia yang pada akhirnya menyebabkan gagalnya “politk Islam” Hindia Belanda itu sendiri, Sehingga dalam hal ini berlakulah istilah “Senjata Makan Tuan“.
Selain itu, kegagalan “Islam poitiek” juga disebabkan oleh sikap sebagian umat Islam (kaum santri) yang selalu menolak dan menggunakan kebijakan - kebijakan Hindia Belanda yang dianggapnya “Kafir
 
DAFTAR PUSTAKA
      Ø  Benda, Harry J. (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980
      Ø  Nata, Abudin, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2007
      Ø  Negara, Ahmad Mansur Surya, Menemukan Sejarah, Bandung, Mizan.,1996
      Ø   Suminto, H. Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996.
    Ø  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia.  Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Depdikbud, 1995.


[1] (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
[2] Josef H. Wenas, Identitas Politik Islam Hindia Belanda.dalam Opini kompasia, kompas.com: 24 februari 2011
[3] Abudin Nata, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakrta : Rajawali Press, 2007., hlm 234
[4] Harry J. benda (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya,1980., hlm 40
[5] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 23.
[6] Ahmad Mansur Surya Negara, Menemukan Sejarah, Bandung, Mizan., hlm, 140
[7] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 51
[8] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996.,hlm 51
[9] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996.,hlm 51
[10] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Depdikbud, hlm. 20-21.