HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur
paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia
bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam
satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi
sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di
tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan
seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu
terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air misalnya, dapat dijawab dengan
memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu,
kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai
salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi
yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan
hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi
yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan,
serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu
setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya,
sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah
proses yang dapat selesai seketika.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak
dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam
di Tanah air, namun setidaknya apa yang akan Penulis paparkan di sini dapat
memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama
ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini.
B. Tujuan Pembahasan
Agar
Penulis dan Pembaca dapat lebih memahami sejarah masuknya islam di Indonesia.
Dan Politik Islam yang ada pada masa pendudukan indonesia oleh pemerintah
Hindia Belanda.
BAB II PEMBAHASAN
A . MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Islam masuk ke Nusantara dibawa para
pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke
Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut
buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para
pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di
beberapa perguruan tinggi. Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog,
jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang
antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab.
Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.
Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum
memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada
zaman Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an
pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim
ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah,
(2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7)
yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalifah Utsman.
Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan
dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang.
Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai
dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan
pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum pemberontak di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II.[1]
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an. Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan (perkampungan Arab Islam) tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka (para pedagang Arab Islam ini) bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Buddha Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para sahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib.
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Buddha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Gujarat India Sebagai Tempat Singgah
Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama.
Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di
Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau
yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena
para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari
Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja
atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya
merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah
Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan
Sumatera.
Pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.
B. POLITIK ISLAM MASA HINDIA BELANDA
1.
Datangnya Belanda Ke Indonesia
Terhitung mulai bulan
april tahun 1595, empat aramada kapal Belanda dibawah komando Corniles
Dehoutman berlayar menuju kepulauan Melayu, dan tiba di Jawa barat
(pelabuhan Banten) pada bulan juni 1596. Menurut Dr. Muqaddam
Khalil M.A mereka sengaja mendarat di Banten, karena daerah tersebut dianggap
tidak ada pengaruh portugis[2].
Adapun tujuan mereka datang ke Indonesia ialah untuk mengembangkan usaha
perdagangan, yaitu mencari rempah-rempah yang kemudian akan dijual di Negara
mereka. Keberhasilan orang Belanda dibawah komando dehoutman membuat orang
Belanda makin tertarik untuk mengembangkan dagangannya di Indonesia, maka pada
tahun 1598 angkatan kedua dibawah pimpinan Van Nede Van Haskerck dan Van
Warwisk datang ke Indonesia.
Kedatangan Belanda
yang bertepatan dengan melemahnya pertahanan maritim dari kesultanan-kesultanan
Indonesia yang diakibatkan banyaknya peperangan yang dilakukan oleh kesultanan
Indonesia dalam usahanya menutup lautan Indonesia dari perluasan wilayah
imprialis Portugis, menjadikan Belanda lebih Mudah menguasai perdagangan di
Indonesia. sehingga pada tahun 1599 armada Belanda kembali datang ke Indonesia
di bawah pimpinan van de Hagen dan pada tahun 1600 dibawah pimpinan van Neck.[3]
Melihat hasil yang
diperoleh begitu besar, pada bulan maret 1602 Pemerintah Belanda memberi hak
khusus kepada para perseroan gabungan dan mengesahkannya. Perseroan gabungan
tersebut di beri hak penuh untuk berdagang, dan memegang kekuasaan antara
tanjung harapan dan kepulauan Solomon, termasuk kepulauan nusantara yang
dikenal dengan V.O.C (Vereenedge Oost Indische Compagnie), dan diberi hak untuk
melakukan kegiatan politik dalam rangka menunjang usaha perdagangannya, dan
sejak itulah Belanda perlahan-lahan menguasai wilayah Indonesia.
Hak politik itu
diberikan bisa jadi merupakan sebuah strategi Belanda untuk memudahkan dan bisa
memegang kekuasaan di di wilayah yang didudukinya termasuk Indonesia, oleh
karena itu, betul jika dikatakan bahwa sejak petengahan abad -16 Imprialis
Belanda berusaha mewujudkan pemerintahan yang kuat di Indonesia yang dapat
melindungi transportasi dan perdagangannya. akan tetapi, umat Islam melalui
kesultanan-kesultananya dan juga perlawannya berhasil menunda keinginan Belanda
tersebut hingga dua abad kemudian.
Keberhasilan Umat
Islam menunda keinginan Belanda untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang utuh
banyak disebabkan oleh adanya perlawanan kesultanan-kesultanan Islam di
Indonesia, salah satunya ialah yang terjadi pada masa Sultan Agung, yang secara
berturut-turut melakukan penyerangan ke Batavia. Selain itu, sifat Sultan Agung
Tritayasa yang sangat membenci Belanda adalah sebuah bentuk perlawanan Islam
yang juga dapat menunda keinginan Belanda.
Akan tetapi
kekuatan militer Belanda yang dilengkapi dengan senjata canggih dapat menggagalkan
perlawanan umat Islam, sehingga Belanda berhasil mewujudkan pemerintahan yang
utuh, yaitu setelah dibubarkannya VOC pada tahun 1798, yang kemudian dikenal
dengan pemerintahan Hindia Belanda. Keberhasilan tersebut membuat Belanda lebih
leluasa menentukan sebuah kebijakan politik di Indonesia. dalam hal
kebijakannya terhadap umat Islam terdapat tokoh yangat berperan dalam
menentukan kebijkan tersebut yaitu Sanough Horgronye.
2.
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
Setelah VOC jatuh
bangkrut pada akhir abad ke-18 pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan
VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam
Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa
yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai
diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil
perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi
dll. Sistem tanam paksa ini adalah salah satu kebijakan yang diterapkan Hindia
Belanda kepada masyarakat Indonesia secara umum.
Meskipun di Jawa
pemberontakan besar-besaran di bawah panji Islam telah berhenti setelah perang
diponogoro, frekuensi pemberontakan petani-petani di bawah pimpinan Islam
setempat makin meningkat,[4]
sehingga pemerintah Hindia Belanda dengan demikian mengaharuskan membuat arah
politik baru tentang masalah-masalah-masalah Islam.
Berdasar latar
belakan itulah, pada tahun 1889 seorang negarawan kolonial Belanda “Snouck Hurgronje”
yang mengetahui secara mendalam tentang Islam diangkat menjadi penasehat untuk
masalah-masalah arab pribumi. Pemahaman Snouck Hurgronje tentang hakikat Islam
di Indonesia sangat membantu terhadap keberhasilan Hindia Belanda untuk
mengarahkan kebijakan politiknya terhadap Islam.
Semenjak itulah
pemerintah Belanda atas nasehat Snouck Hurgronje memiliki kebijakan politik
yang jelas terhadap Islam yang dikenal dengan “Islam Politiek” yaitu
kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani Islam di Indonesia. Kebijakan
tersebut antara lain:
Asosiasi
Keagamaan
Snouck yang telah
banyak mengetahui tentang Islam, dalam mengusulkan sebuah kebijakan yang
melawan ketakutan Belanda terhadap Islam, dengan menilai secara realitas tempat
di dalam masyarakat Indonesia, Snouck selantunya menawarkan suatu sikap
toleransi yang dijabarkan dalam sikap netral terhadap kehidupan keagamaan. Oleh
karena itu, atas penjelasan Snouck pemerintah Belanda memberikan “kebebasan
beragama” termasuk dihilangkannya rintangan naik haji ke Mekkah. Meski
demikian, Snouck mengaskan bahwa Islam sama sekali tidak bisa dianggap remeh
baik sebagai agama maupun sebagai kekuatan politik.
Akan tetapi,
hubungan pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa dilepaskan dari
hubungan antar hubungan umat beragama (umat Islam dan katolik), hal ini
terlihat jelas pada hubungan Islam - katolik yang melatar belakangi hubungan
Indonesia-Belanda. Kaum elit Belanda yang umumnya beragama kristen ternyata
tidak mampu memperlakukan pribumi yang umumnya beragama Islam sama dengan
pribumi yang beragama kristen, umat Islam seringkali mendapatkan perlakuan yang
berbeda dengan umat kristen yang dianggapnya bagian dari Eropa.
Perlakuan yang
kurang nertal tersebut menimbulkan kritik tajam di kalangan umat Islam, umat
Islam memandang pemerintah kolonial melancarkan kertenisgspolitik,
yaitu kebijaksanaan kebijaksanaan yang menonjang kristenisasi.[5]
hal itulah yang menjadi salah satu sebab umat Islam (Kaum santri) selalu tidak
setuju dengan pemerintah, dan menilainya sebagai kafir.
Asosiasi kebudayaan
Dalam hal ini,
menurut Snouck pertama, Belanda harus memisahkan antara Islam sebagai agama dan
Islam sebagai doktrin politik, karena makin jauh kedua hal tersebut akan
mempercepat proses kehancuran Islam. Untuk mencapai maksud tersebut pemerintah
harus menghidupkan golongan pemangku adat karena mereka ini akan menentang
Islam[6].
Kedua, Belanda juga harus mengadakan kerja sama kebudayaan Indonesia - Belanda.
Ketiga, operasi militer ke daerah pedalaman dan menindak secara kekerasan terhadap
para ulama, dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk merekrut para
santrinya sebagai pasukan suka rela. Keempat, Terhadap orang awam,
pemerintah harus meyakinkan bahwa Belanda tidak memusuhi agama Islam dan bahkan
melindungi agama Islam.[7]
Asosiasi pendidikan
Dalam bidang
pendidikan permerintah Hindia Belanda menempatkan Islam sebagai saingan yang
harus dihadapi, sehingga Hindia Belanda menformalisasikan pendidikan barat
sebagai faktor yang akan mengahancurkan Islam di Indonesia, dalam hal ini
Snouck sangat optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan
barat, dan ia mengangap agama ini beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus
diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi. Akan tetapi pada
kenyataannya, ramalan Snouck tersebut malah terbalik, hal itu disebabkan
munculnya ide modernisasi Islam yang menjalar kepada umat Islam. Snouck
ternyata juga belum memperhitungkan kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari
luar untuk meningkatkan diri.[8]
Sehingga dengan kebijakan tersebut, muncullah nasionalis Islam yang belajar
ilmu barat kemudian menjadi musuh bagi Belanda.
Selain itu,
kesadaran bahwa pemerintah ‘Hindia Belanda adalah Pemerintah kafir yang
menjajah agama mereka (khususnya tertanam di benak para santri) sebagian umat
islam indonesia (kaum santri) mengambil sikap anti Belanda. Pesantren
yang pada waktu itu merupakan pusat pendidikan Islam mengharamkan menerima gaji
guru dari pemerintah, karena dinilainya haram. Sikap konfrotasi kaum santri
tersebut dengan segala kekuarangan dan kelemahannya berhasil mempertahankan
identitas keislaman sehingga mengharuskan Belanda membuat kebijakan kebijakan
yang mengekang umat Islam antara lain: Pertama: ordonansi guru, yaitu
suatu kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang mengharuskan setiap guru
agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu utnuk
melaksanakan tugasnya sebagai guru agama.[9]
Kebijakan ini menibulkan banyak reaksi umat Islam baik dari kaum pribumi maupun
dari organisasi Islam seperti Muhammadiyah. Kedua, Ordonansi sekolah
liar, kebijakan ini dikeluarkan oleh pihak Belanda karena menjalarnya
pendidikan Islam swasta yang dianggapnya mengancam pihak Belanda, dengan begitu
Belanda melarang mendirikan sekolah-sekolah tanpa izin pemerintah, kebijakan
ini mendapat kritik keras oleh tokoh pendidikan Ki Hadjar. Partai politik turut
mendukung protes tersebut dan memperjuangkanya di Volksraad. Begitu juga dengan
surat-surat kabar saat itu. Akhirnya pada 1935, setelah dua tahun mengalami
proses alot, ordonansi sekolah liar dihapuskan.[10]
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Telah
disinggung diatas, bahwa pengetahuan Snouck Hungroye tentang umat Islam di
Indonesia membuatnya sangat optimis bahwa “kebijakan-kebijakan” yang diambilnya
akan berhasil, akan tetapi ramalan tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa
yang ia duga. System politik yang pada awalnya diarahkan untuk mematahkan
peranan umat Islam dalam bidang politik, ekonomi dan sosial, ditambah dengan
dilancarkannya politik kristenisasi menyebabkan beragam respon, pertama umat
Islam berupa usaha perbaikan agama, ekonomi, politik dan sosial. Wujud dari
respon tersebut antara lain timbulnya orgainisasi Islam seperti Serikat Islam
1906), Muhammadiyah (1912), Perserikatan Ulama (1916) Persis (1923), NU
(1926), kemudian atas prakarsa NU dan MD pada tahun 1937 dibentuk MIAI.
Munculnya organisasi tersebut salah
satunya adalah disebabkan oleh ide-ide barat yang diperkenalkan melalui
kebijakan-kebijakan Hindia Belanda kepada sebagian umat Islam Indonesia yang
pada akhirnya menyebabkan gagalnya “politk Islam” Hindia Belanda itu sendiri,
Sehingga dalam hal ini berlakulah istilah “Senjata Makan Tuan“.
Selain itu, kegagalan “Islam poitiek”
juga disebabkan oleh sikap sebagian umat Islam (kaum santri) yang selalu
menolak dan menggunakan kebijakan - kebijakan Hindia Belanda yang dianggapnya “Kafir“
DAFTAR PUSTAKA
Ø Benda, Harry
J. (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan
Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980
Ø Nata,
Abudin, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2007
Ø Negara,
Ahmad Mansur Surya, Menemukan Sejarah, Bandung, Mizan.,1996
Ø Suminto, H.
Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996.
Ø Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan
Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan, Depdikbud, 1995.
[2] Josef H.
Wenas, Identitas Politik Islam Hindia Belanda.dalam Opini kompasia,
kompas.com: 24 februari 2011
[4] Harry J.
benda (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya,1980., hlm 40
[10] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan
Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan, Depdikbud, hlm. 20-21.