Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan
A. Latar Belakang
Perlindungan hukum akan dapat memberi rasa aman dan tentram dengan adanya kepasatian hukum. Para ahli hukum mengatakan bahwa ’perlindungan hukum’ dengan ’kepastian hukum’ merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Perlindungan hukum tidak akan dapat dirasakan tanpa kepastian hukum. Sebaliknya dengan tegaknya kepastian hukum maka perlindungan hukum akan dapat dinikmati masyarakat. Kepastian hukum yang dimaksud para ahli hukum ini adalah penegakan hukum yang dapat diterima oleh golongan terbesar penduduk dan mayoritas dari penduduk.
Harta kekayaan merupakan salah satu hal yang perlu dilindungi dalam hukum. Segala tindak kejahatan atau percobaan kejahatan terhadap harta kekayaan perlu diadili dalam persidangan demi terciptanya kepastian hukum dalam masyarakat. Pemerintah merumuskan dalam KUHP pasal 362-367 tenang pencurian dan pasal 372-376 tentang penggelapan sebagai bagian tindak pidana kejahatan terhadap harta kekayaan. Terdapat unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam rumusan tersebut, agar seseorang dapat dituntut sebagai pencuri atau penggelap barang. Unsur-unsur itu ada yang berbentuk objektif dan subjektif. Seseorag bisa diancam pidana pencurian dan penggelapan jika pengadilan membuktikan kedua unsur-unsur itu.
Kejahatan terhadap harta kekayaan dalam KUHP terdapat pada buku II tentang kejahatan: Bab XXII pencurian; Bab XXIII Pemerasan dan Pengancaman; Bab XXIV Penggelapan; Bab XXV Perbuatan curang; Bab XXVI merugikan orang berpiutang atau yang mempunyai hak; Bab XXVII menghancurkan atau merusak barang; Bab XXX penadahan.
Kejahatan terhadap harta kekayaan sendiri diartikan sebagai suatu penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas benda milik orang lain. Setiap tindak kejahatan memiliki unsur-unsur tersendiri, baik yang subjektif atau objektif. Keberadaan Unsur-unsur tersebut menjadi parameter seseorang terdakwa tertuduh melakukan tindak pidana kejahatan. Perbedaan pokok antara macam-macam tindak pidana tersebut adalah:
a.
pencurian
(diefstal): mengambil barang orang lain untuk memilikinya;
b. pemerasan
(afpersing); memaksa orang lain dengan kekerasan untuk memberikan sesuatu;
c. pengancaman
(afdreiging): memaksa orang lain dengan ancaman untuk memberikan sesuatu;
d. penipuan
(oplichting): membujuk orang lain dengan tipu muslihat untuk memberikan
sesuatu;
e. penggelapan
barang (verduistering): memiliki barang bukan haknya yang sudah ada di
tangannya;
f. merugikan orang
yang berpiutang: sebagai orang yang berpiutang berbuat sesuatu terhadap
kekayaan sendiri dengan merugikan si berpiutang (creditor)
g. penghancuran
atau perusakan barang: melakukan perbuatan terhadap barang orang lain secara
merugikan tanpa mengambil barang itu;
h. penadahan:
menerima atau memperlakukan barang yang diperoleh orang lain secara tindak
pidana;
A. Pencurian
Menurut KUHP tindak pidana pencurian dibedakan atas lima macam, yaitu:
1.
tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok
2.
tindak pidana pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan
3.
tindak pidana pencurian ringan
4.
tindak pidana pencurian dengan kekerasan
5.
tindak pidana pencurian dalam keluarga
Pertama, Tindak pidana penncurian dalam bentuk pokok, dirumuskan dalam pasal 362 KUHP, yang berbunyi:
”barang siapa yang mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”
Pencurian dalam bentuk pokok ini mengadung unsur objektif dan subjektif.
1.
Unsur objektif:
a.
Barang
siapa (Hij), yaitu subjek atau pelaku dari tindak pidana. Hij biasa diartikan
barang siapa dalam artian manusia, karena pidana penjara yang diancamkan
terhadap pelaku pencurian merupakan suatu ’vrijheidsstraf’, yakni suatu pidana
yang bertujuan untuk membatasi kebebasan pelaku, dan pidana denda merupakan
suatu ’vermogenstraf’, yakni pidana yang bertujuan untuk mengurangi harta
kekayaan pelaku. ’vrijheidsstraf’ dan ’vermogenstraf’ hanya bisa ditimpakan
kepada manusia. Karena yang dapat dikurangi harta kekayaan sebagai suatu pidana
ini bukan hanya manusia saja, maka ada yang mengartikan barang siapa atau Hij
ini manusia atau suatu badan hukum. Lamintang menyalahkan pendapat bahwa suatu
badan hukum bisa dijadikan pelaku pencurian dengan alasan karena dalam
penjelasan tentang pembentukan pasal 59 KUHP mengatakan: ”suatu tindakan pidana
itu hanya dapat dilakukan oleh seorang manusia. Anggapan seolah-olah suatu
badan hukum itu dapat bertindak seperti seorang manusia, tidak berlaku di
bidang hukum pidana.”
b. Mengambil
(Wergemen), artinya membawa barang dari tempat asalnya ke tempat lain. Jadi
barang tersebut harus bersifat dapat digerakan, dapat diangkat dan dipindahkan.
Adapun istilah ’mencuri tanah’ itu maksudnya memiliki tanah tanpa hak. Kemudian
apabila seorang pencopet memasukan tangannya kedalam tas orang lain dan
memegang dompet uang yang tersimpang di tas itu dengan maksud memilikinya, akan
tetapi si copet belum berhasil telah ketahuan oleh yang punya dan dipukul
sehingga ia harus melepaskan pegangannya, maka belumlah dapat dikatakan bahwa
si tukang copet ”mengambil” dompet itu, sebab dompet masih berada di dalam tas
yang punya. Si tukang copet di tuntut melakukan percobaan pencurian bukan
pencurian.
c. Suatu benda
(Eenig), artinya ada benda yang diambil pelaku. Adapun yang dimaksud dengan
benda ini harus sesuatu yang berharga atau bernilai bagi korban . Barang yang
diambil itu tidak terbatas mutlak milik orang lain tetapi juga sebagian
dimiliki oleh si pencuri, yaitu apabila merupakan suatu harta warisan yang
belum dibagi, dan si pencuri termasuk dalam ahli waris yang turut berhak atas
barang itu.
d. Sebagian/seluruhnya
kepunyaan orang lain (Dat gehel of geseeltelijk aan een ander toebehoort),
artinya barang tersebut bukan milik pelaku tetapi merupakan milik orang lain
secara utuh atau sebagian, jika barang itu milik si pencuri atau barang temuan
maka tidak termasuk pencurian.
2.
Unsur subujektif:
Menguasai benda tersebut dengan melawan hukum. Mentri kehakiman menyatakan bahwa yang dimsaksud dengan ’oogmerk’ atau maksud dalam pasal 362 ialah naaste doel ataupun dalam dokrin disebut bijkomend oogmerk atau maksud lebih lanjut. ’Maksud menguasai barang’ berarti untuk memiliki bagi diri sendiri atau dijadikan sebagai barang miliknya. Menurut Wirjono, ada suatu kontradiksi antara ’memiliki barang’ dan ’melawan hukum’. ’Memiliki barang’ itu berarti menjadikan dirinya pemilik, sedangkan untuk menjadi pemilik suatu barang harus menurut hukum. Maka sebenarnya tidak mungkin orang memiliki barang milik orang lain dengan melanggar hukum karena kalau melanggar hukum, tidak mungkin orang menjadi pemilik barang. Oleh karaena itu, Wirjono mendefinisikan memiliki barang dengan melawan hukum tersebut adalah berbuat sesuatu dengan suatu barang seolah-olah pemilik barang itu, dan dan dengan perbuatan itu si pelaku melanggar hukum.
Mr. R. Tresna merumuskannya sebagai berikut:
a.
bahwa
yang mengambil itu bermaksud untuk memiliki barang itu, artinya terhadap barang
itu ia bertindak seperti yang punya.
b. bahwa memiliki barang
itu harus tanpa hak, artinya dengan memperkosa hak orang lain atau berlawanan
dengan hak orang lain.
c.
yang
mengambil itu harus mengetahui, bahwa pengambilan barang itu tanpa hak.
Kedua, Tindak pidana pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan, diatur dalam pasal 363 KUHP. Pencurian dalam tindak pidana pencurian dengan unsur memberatkan mempunyai arti yang sama dengan pencurian dalam bentuk pokok, akan tetapi pencurian itu ditambah unsur lain yang telah tercantum pasal 363 KUHP yang bersifat memberatkan pelaku, sehingga ancaman pidananya lebih berat dari pidana pencurian dalam bentuk pokok, yaitu pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. Adapun yang termasuk pencurian tersebut adalah sebagai berikut:
1.
pencurian
ternak;
2. pencurian pada
waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung
meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,
pemberontakan atau bahaya perang;
3. pencurian pada
waktu malam hari dalam sebuah rumah atau perkarangan tertutup yang ada
rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak
dikehendaki oleh yang berhak;
4. pencurian yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
5. pencurian yang
masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang diambil,
dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat dengan memaki anak kunci
palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;
6.
jika
pencurian yang tercantum dalam butir 3 disertai dengan ssalah satu dalam butir
4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Kemajuan teknologi informasi yang menjadi starting points dari keberadaan cyber crime ”kejahatan dunia maya”, secara yuridis dapat membawa dampak pada hukum yang mengatur tentang hal tersebut. Perhatian terhadap cyber crime tersebut dikarenakan dampak dari adanya cyber crime bersifat negatif yang dapat merusak terhadap seluruh bidang kehidupan modern saat ini, oleh karena kemajuan teknologi komputer menjadi salah satu pendukung kehidupan masyarakat.
Bahkan kekhawatiran dampak negatif dari keberadaan cyber crime ini secara internasional pernah diutarakan dalam “International Information Industry Congress 2000 Millennium Conggres” di Quebec, yang menyatakan bahwa: “Cyber crime is a real growing threat to economic and social development around the world. Information technology touches every aspect of human life so can electronically enable crime.” (Kejahatan dunia maya merupakan suatu pertumbuhan nyata yang mengancam pembangunan ekonomi dan sosial dunia.
Teknologi informasi menyentuh setiap aspek kehidupan manusia yang secara elektronik dapat menimbulkan kejahatan. Dalam hal pencurian/pembobolan sistem komputer yang dimaksudkan untuk mendapatkan uang tunai melalui transfer dapat diterapkan Pasal 363 KUHP dimana dalam pasal tersebut memperluas pengertian kunci palsu dan perintah palsu sehingga “password” atau “test-key” yang digunakan dalam pencurian tersebut termasuk di dalamnya.
Tentang ’nilai benda yang dicuri’ itu semula ditetapkan ’tidak lebih dua puluh lima rupiah’, akan tetapi dengan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 16 tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diubah ’dua ratus lima puluh rupiah’.
Dari rumusan ketentuan pidana di atas dapat diketahui, bahwa yang dimaksud pencurian ringan itu dapat berupa:
a.
tindak
pidana pencurian dalam bentuk pokok;
b.
tindak
pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama; atau
c.
Tindak
pidana pencurian, yang untuk mengusahakan jalan masuk ke tempat kejahatan atau
untuk mencapai benda yang hendak diambilnya, orang yang bersalah telah
melakukan pembongkaran, perusakann, pemanjatran atau telah memakai kunci-kunci
palsu atau serangan palsu
Dengan syarat:
a. tidak dilakukan
di dalam sebuah rumah temapt kediaman;
b. tidak dilakukan
di atas sebuah perkarangan tertutup yang di atasnya terdapat sebuah tempat
kediaman, dan
c.
nilai
dari benda yang dicuri itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah.
Sedangkan untuk waktu sekarang, nilai dari benda ditentukan sesuai dengan
kelayakan dan kepantasan pada waktu sekarang.
Keempat, tindak pidana
pencurian dengan kekerasan, diatur dalam pasal 365 KUHP. Pencurian dengan unsur
kekerasan ini termasuk suatu pencurian dengan unsur-unsur memberatkan pula,
yaitu yang disertai kekerasan atau ancaman kekerasan. Pasal 364 ini mengatur
satu kejahatan, bukan dua kejahatan yang terdiri dari kejahatan ’pencurian’ dan
’pemakaian kekerasan terhadap orang’, ataupun bukan merupakan suatu samenloop
dari kejahatan ’pencurian’ dengan kejahatan ’pemakaian kekerasan terhadap
orang’. Menurut Prof. Simons, kekerasan itu tidak saja merupakan sarana atau
cara untuk melakukan pencurian, melainkan cukup jika kekerasan tersebut terjadi
’sebelum’, ’selama’ dan ’sesudah’ pencurian.
Kemudian Pasal 366 menjelaskan mengenai hukum pidana pencurian yang tecantum pada Pasal 362, 363 dan 364 dapat diputuskan dari hak-dak seperti yang disebut dalam pasal 366 angka 1-4 KUHP, yaitu:
1.
hak
untuk menjabat segala jabatan tertentu.
2. hak untuk masuk
dinas kemiliteran.
3. hak untuk
memilih atau dipilih pada pemilihan yang dilakukan berdasarkan undang-undang
4.
hak
untuk menjadi penasehat, wali pengawas/pengampu atau pengawas/pengampu atas
orang lain dari pada anaknya sendiri.
Kelima, tindak pidana pencurian dalam keluarga, diatur dalam Pasal 367 KUHP. Menurut Pasal 367 ayat 2 KUHP, apabila pelaku atau pembantu dari pencurian dari Pasal 362, 364, dan 365 adalah suami atau istri dari si korban, dan mereka dibebaskan dari kewajiban tinggal bersama, atau keluarga sedarah semenda, baik dalam keturunan lurus maupun sendiri hanya boleh dilakukan penututan atas pengaduan si korban pencurian. Aduan pada pencurian dalam keluarga ini termasuk delik aduan relatif, yaitu kejahatan yang hanya dalam keadaan tertentu saja merupakan delik aduan. Apabila suami-istri itu tidak dibebaskan dari kewajiban tinggal bersama, maka menurut ayat 1 Pasal 367 KUHP sama sekali tidak boleh dilakukan penuntutan. Akan tetapi, ayat 3 pasal tersebut menyebutkan jika menurut adat-istiadat garis ibu (matriarchaat dari daerah minangkabau) kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari pada bapak, maka aturan ayat 2 berlaku juga bagi orang itu.
B. Pengelapan (Verduistering)
Dalam
KUHP, Penggelapan dimuat dalam buku II bab XXIV yang oleh Van Haeringen
mengartikan Istilah Penggelapan ini sebagai “geheel donkermaken” atau sebagai
“uitstraling van lichtbeletten” yang artinya “membuat segalanya menjadi gelap”
atau “ menghalangi memancarnya sinar”. Sedangkan Lamintang dan Djisman Samosir
mengatakan akan lebih tepat jika istilah Penggelapan diartikan sebagai
“penyalah gunaan hak” atau “penyalah gunaan kekuasaan”. Akan tetapi para sarjana
ahli hukum lebih banyak menggunakan kata “Penggelapan“. Penggelapan adalah
kejahatan yang hampir sama dengan pencurian yang dijelaskan dalam pasal 362.
Hanya saja pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan
pelaku dan masih harus diambilnya, sedang pada penggelapan waktu dimilikinya
barang itu sudah ada di tangan pelaku tidak dengan jalan kejahatan.
Menurut KUHP tindak pidana penggelapan dibedakan atas lima macam, yaitu:
Menurut KUHP tindak pidana penggelapan dibedakan atas lima macam, yaitu:
1. tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok
2.
tindak pidana penggelapan ringan
3.
tindak pidana penggelapan dengan unsur-unsur yang memberatkan
4.
tindak pidana penggelapan oleh wali dan lain-lain
5.
tindak pidana penggelapan dalam keluarga
Selain macam-macam Penggelapan yang telah disebutkan di atas masih ada tindak pidana lain yang yang masih mengenai penggelapan, yaitu “Kejahatan Jabatan” pada pasal 415 dan pasal 417, yang kini ditarik ke dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001.
1. Penggelapan dalam bentuk pokok
Penggelapan dalam bentuk pokok dijelaskan dalam pasal 372 yakni “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Penggelapan yang dicantumkan dalam pasal di atas oleh R. Soesilo disebut dengan “Penggelapan Biasa”. Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 372 ini terdiri dari unsur objektif dan subjektif:
Unsur
subjektif
-
Unsur
kesengajaan; memuat pengertian mengetahui dan menghendaki. Berbeda dengan
tindak pidana pencurian yang tidak mencantumkan unsur kesengajaan atau ‘opzettelijk’
sebagai salah satu unsur tindak pidana pencurian. Rumusan pasal 372 KUHP
mencantumkan unsur kesengajaan pada tindak pidana Penggelapan, sehingga dengan
mudah orang mengatakan bahwa penggelapan merupakan opzettelijk delict atau
delik sengaja.
Unsur objektif
-
Barang
siapa; seperti yang telah dipaparkan dalam tindak pidana pencurian, kata
‘barang siapa’ ini menunjukan orang. Apabila seseorang telah memenuhi semua
unsur tindak pidana penggelapan maka dia dapat disebut pelaku atau ‘dader’
-
Menguasai
secara melawan hukum (bermaksud memiliki); mentri kehakiman pemerintahan
kerajaan Belanda, menjelaskan maksud unsur ini adalah penguasaan secara sepihak
oleh pemegang sebuah benda seolah-olah ia merupakan pemiliknya, bertentangan
dengan hak yang membuat benda tersebut berada padanya.
-
Suatu
benda; ialah benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan ataupun dalam
prakteknya sering disebut ‘benda bergerak’
-
Seluruh
atau sebagiannya adalah milik orang lain; sebagaimana keterangan Simons,
“penggelapan atas benda yang sebagian merupakan kepunyaan orang lain itu dapat
saja terjadi.
-
Barang
siapa atas biaya bersama telah melakukan suatu usaha bersama dengan orang lain,
ia tidak boleh menguasai uang milik bersama itu untuk keperluan sendiri”.
-
Benda
Yang ada dalam kekuasaannya tidak karena kejahatan; yaitu harus ada hubungan
langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda pada tindak
pidana penggelapan. Misalnya, karena dititipkan, dipinjamkan, disewakan, atau
digadaikan kepada pelaku
Misalnya : si A menyewa sepeda kepada si B, kemudian si A menjual sepeda tersebut tanpa sepengetahuan si B. (dengan demikian si A dianggap telah melakukan penggelapan karena dia tidak memiliki hak untuk menjual sepeda tersebut)
Misalnya : si A menyewa sepeda kepada si B, kemudian si A menjual sepeda tersebut tanpa sepengetahuan si B. (dengan demikian si A dianggap telah melakukan penggelapan karena dia tidak memiliki hak untuk menjual sepeda tersebut)
2. Penggelapan ringan
Penggelapan
ringan, diatur pada pasal 373, yaitu Penggelapan bisaa (pasal 372), jika yang
digelapkan itu bukan binatang ternak (hewan) dan barang yang harganya tidak
lebih dari Rp. 250.
Dengan
demikian maka penggelapan hewan, Penggelapan barang yang harganya lebih dari
Rp. 250 , Penggelapan barang yang tidak dapat dinilai harganya, Penggelapan
dengan pemberatan pasal 374 dan 375 KUHP, meskipun harga barang yang digelapkan
kurang dari Rp, 250, itu tidak masuk dalam Penggelapan ringan.
Unsur-unsur yang terkandung dalam pasal ini adalah:
- Semua unsur yang terkandung dalam pasal 372
Unsur
khususnya yakni:
•
Obyeknya benda yang bukan ternak
•
Harga atau nilai benda tersebut tidak sampai Rp. 250
•
Bukan Penggelapan dalam bentuk yang diperberat
3. Penggelapan dalam bentuk yang diperberat
Dalam pasal 374 dijelaskan bahwa: “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena hubungan kerja atau karena unsur pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana lima tahun”.
Selain -unsur yang terkandung dalam pasal 372 di atas, dalam pasal 374 ini merumuskan tiga macam hubungan antara si pelaku dengan orang yang menitipkan barangnya, yaitu:
a) hubungan buruh-majikan (persoonlijke dienstbtrekking)
Dalam
hubungan antara buruh-majikan ini, barang yang digelapkan tidak harus kepunyaan
si majikan. Bisa jadi barang tersebut adalah barang orang lain atau buruh lain,
akan tetapi karena sebagai buruh pelaku harus mematuhi perintah majikannya
untuk mengurus barang-barang tersebut.
b)
hubungan berdasarkan pekerjaan si pelaku sehari-hari (beroep)
Seorang
pemborong yang menggelapkan barang-barang milik pihak yang memberikan pekerjaan
pemborongan misalnya, adalah termasuk Penggelapan yang berdasarkan pada
pekerjaan si pelaku sehari-hari.
c)
hubungan dimana si pelaku mendapat upah.
Misalnya:
seorang petugas stasiun yang diupah untuk membawa barang ke atas kereta oleh
seorang penumpang, akan tetapi petugas tersebut tidak membawanya ke kereta,
dengan demikian petugas tersebut bisa dituntut melakukan Penggelapan.
4. Penggelapan oleh wali dan lain-lain
Dalam pasal 375 dijelaskan bahwa “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.
Selain unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 372 di atas, unsur dalam Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan karena:
a.
terpaksa
disuruh menyimpan barang itu; Ini biasanya disebabkan karena terjadi kebakaran,
banjir dan sebagainya;
b. kedudukan
sebagai seorang wali (voogd); Wali yang dimaksudkan di sini adalah wali bagi
anak-anak yang belum dewasa.
c. kedudukan
sebagai pengampu (curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah seseorang yang
ditunjuk oleh hakim untuk menjadi wali bagi seseorang yang sudah dewasa, akan
tetapi orang tersebut dianggap tidak dapat berbuat hukum dan tidak dapat menguasai
atau mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa atau yang lainnya.
d. kedudukan
sebagai seorang kuasa (bewindvoerder); Seorang kuasa berdasarkan BW adalah
orang yang ditunjuk oleh hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta benda seseorang
yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang wakil pun untuk
mengurus harta bendanya itu.
e. kedudukan
sebagai pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang ditunjuk
oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk melaksanakan apa yang di kehendaki
oleh pewaris terhadap harta kekayaannya.
f.
kedudukan
sebagai pengurus lembaga sosial atau yayasan;
5. Penggelapan dalam keluarga
Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak pidana pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka.
Pada
ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai delik aduan adalah
keadaan di mana suami dan istri telah pisah atau telah bercerai harta kekayaan.
Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga yang dilakukan oleh
suami atau istri terhadap harta kekayaan suami mereka, yaitu bahwa kemungkinan
harta tersebut adalah harta bersama yang didapat ketika hidup bersama atau yang
lebih dikenal dengan harta gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan
apakah itu harta suami atau harta istri. Oleh karena itu, perceraian harta
kekayaan adalah yang menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga
sebagai delik aduan.