Hukum Agraria
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Undang-Undang No. 41 Tahun
2004 dalam Pasal 16 menerangkan harta benda yang dapat diwakafkan. Pasal ini
menyebutkan bahwa benda bergerak dan benda tidak bergerak dapat menjadi objek
wakaf (dapat diwakafkan). Ayat (2) dari Pasal 16 menerangkan : benda tidak
bergerak yang dapat diwakafkan meliputi hak atas tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum
didaftar. Pasal ini tidak menerangkan pengertian wakaf tanah, namun secara
tersurat pasal ini menjelaskan bahwa tanah hak milik yang merupakan benda tidak
bergerak dapat diwakafkan.
Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan wakaf tanah adalah perbuatan hukum Seseorang atau Badan
Hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik
dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentianagn peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam (Pasal 1 ayat 1
PP.No.28/1977 dan Pasal 1 Sub B Peraturan Menteri Agama No.1 tahun 1978).
Menurut PP.No.28 Tahun 1977, orang-orang atau badan hukum
yang mewakafkan tanah miliknya disebut wakif, dan untuk adanya wakaf maka
diperlukan adanya suatu Ikrar atau pernyataan kehendak dari wakif untuk
mewakafkan tanah miliknya. Sedangkan orang atau Badan Hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf disebut Nadzir.
Perwakafan ini harus dilakukan dimuka Pejabat pembuat
Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Menurut Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978,
kepala kantor urusan agama (KUA) ditunjuk sebagi PPAIW. Sedangkan untuk
administrasi perwakafan diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan. Menurut pasal 9 ayat (2) PP No. 28 tahun 1977 PPAIW ini diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Agama. Akan tetapi demi efektifitas dan kelancaran
pelaksanaan, maka dilakukan pendelegasian wewenang pengangkatan atau
penunjukkan serta pemberhentian Kepala Kantor Urusan Agama sebagai PPAIW kepada
kepala kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi atau setingkat, sesuai
keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1978.
B.
Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah
yang berjudul “Perwakafan Tanah” ini adalah:
1. Apakah dasar hukum Pelaksanaan
perwakafan di Indonesia?
2. Bagimanakah tata cara perwakafan tanah?
3. Bagaimakah ketentuan pidana dan sanksi
administrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan dalam permasalahan
wakaf tanah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum
Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia.
Adapun dasar hukum yang menjamin
pelaksanaan perwakafan di Indonesia antara lain diatur dalam:
1. Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik Jo PMA No. 1 Tahun 1978
Tentang Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.
2. Undang-undang
No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
3. Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah di ubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
4. Inpres No. 1
Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
5. Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
B. Tata
Cara Perwakafan Tanah Hak Milik.
Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Perorangan atau
badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya (sebagai calon wakif) diharuskan datang sendiri di
hadapan PPAIW untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
2. Calon wakif
sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu menyerahkan kepada PPAIW,
surat-surat sebagai berikut:
Ø Sertifikat hak
milik atau tanda bukti kepemilikan tanah.
Ø Surat
Keterangan Kepala Desa diperkuat oleh Camat setempat mengenai kebenaran
pemilikan tanah dan tidak dalam sengketa.
Ø Surat
Keterangan pendaftaran tanah.
Ø Ijin Bupati / Walikota c.q.
Sub Direktorat Agraria setempat, hal ini terutama dalam rangka tata kota atau
master plan city.
3. PPAIW meneliiti
surat-surat dan syarat-syarat, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas
tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nadzir.
4. Di hadapan
PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan atau mengucapkan kehendak wakaf itu
kepada nadzir yang telah disahkan. Ikrar wakaf tersebut diucapkan dengan jelas, tegas dan dituangkan
dalam bentuk tertulis (ikrar wakaf bentuk W.1). Sedangkan bagi yang tidak bisa
mengucapkan (misalnya bisu) maka dapat menyatakan kehendaknya dengan suatu
isyarat dan kemudian mengisi blanko dengan bentuk W.1. Apabila wakif
itu sendiri tidak dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW),
maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kandepag
yang mewilayahi tanah wakaf dan kemudian surat atau naskah tersebut dibacakan
dihadapan nadzir setelah mendapat persetujuan dari Kandepag dan semua yang
hadir dalam upacara ikrar wakaf tersebut ikut menandatangani Ikrar Wakaf
(bentuk W.1).
5. PPAIW segera
membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2) rangkap empat dengan dibubuhi materi
menurut ketentuan yang berlaku dan selanjutnya, selambat-lambatnya satu bulan
dibuat ikrar wakaf, tiap-tiap lembar harus telah dikirim dengan pengaturan
pendistribusiannya sebagai berikut. Akta Ikrar Wakaf:
v Lembar pertama
disimpan PPAIW.
v Lembar kedua
sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran tanah wakaf ke kantor Subdit
Agraria setempat (W.7).
v Lembar ketiga
untuk Pengadilan Agama setempat.
Salinan Akta
Ikrar Wakaf :
v Lembar pertama
untuk wakif.
v Lembar kedua
untuk nadzir.
v Lembar ketiga
untuk Kandep. Agama Kabupatan /
Kota.
v Lembar keempat
untuk Kepala Desa setempat.Disamping telah membuat Akta, PPAIW mencatat dalam
Daftar Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.4) dan menyimpannya bersama aktanya dengan
baik.
C. Bagaimakah
ketentuan pidana dan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan
dalam permasalahan wakaf tanah hak milik.
Negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi Hukum,
sehingga segala pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan akan ditindak dan
diberi sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi Administrasi sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan. Demikian pula dengan pelanggaran yang dilakukan dalam
permasalahan wakaf terutama mengenai wakaf tanah.
Dalam UU. No. 41 tahun 2004 tentang wakaf disampaikan
dengan jelas sanksi yang akan diterima apabila terjadi pelanggaran dalam
pelaksanaan wakaf. Baik sanksi pidana maupun sanksi administratif. Bentuk
pelanggaran dan berat sanksi yang diberikan termuat jelas dalam pasal 67 UU.
No. 41 tahun 2004 yaitu:
Ayat (1) : Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan,
menghilangkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak
lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 40 atau tanpa menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 41, dipidana dengan pidana paling lama 5 tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah ).
Ayat (2) : Setiap orang yang dengan sengaja mengubah
peruntukkan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 44
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Ayat ( 3 ) : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagimana dimaksud dalam pasal 12,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Sedangkan dibagian kedua pasal 68 UU. No. 41 tahun 2004
disebutkan kriteria pelanggaran mengenai perwakafan, sanksi, dan lembaga yang
berhak memberikan sanksi yaitu berupa sanksi administratif, disebutkan dalam:
Ayat (1), Menteri dapat mengenakan sanksi administratif
atas pelanggaran tidak didaftarkannya harta benda wakaf oleh Lembaga Keuangan
Syariah dan PPAIW.
Ayat (2),
Sanksi
administratif sebagimana dimaksud ayat (1) berupa:
-
Peringatan tertulis
-
Penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi
Lembaga Keuangan Syariah.
-
Penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW
Ayat (3) :
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) diatur dengan peraturan pemerintah.
Sangat jelas disebutkan didalam pasal-pasal diatas,
mengenai bentuk pelanggaran dan Sanksi-sanksi mengenai tanah wakaf,
Undang-undang tersebut yang bisa dianggap masih awal belum dapat
terinterprestasikan dengan seharusnya. Seperti kita ketahui praktik perwakafan
tanah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib
dan efesien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana
mestinya, terlantar atau teralih ketangan pihak ketiga dengan cara melawan
hukum. Keadaan demikian itu tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan
nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga
sikap masyarakat yang kurang peduli memahami status harta benda wakaf yang
seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan, tujuan
fungsi, dan peruntukan wakaf.
A.KESIMPULAN
Salah satu masalah di bidang keagamaan
yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah
milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut ditinjau dari
sudut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Berhubung dengan
masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selama-lamanya (abadi),maka hak atas
tanah yang jangka waktunya terbatas tidak dapat diwakafkan. Dalam Undang-undang
Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan bulat,
sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha, hak guna
bangunan,hak pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga
oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan
seperti halnya pemegang hak milik,oleh karena itu lebih mudah dan simple tanah
yang sifatnya hak milik untuk di wakafkan.
PP 28/1977, PERWAKAFAN TANAH MILIK
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a.bahwa
wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu
sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama
Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan material menuju
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila;
b.bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan ;
c.bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tatacara dan pendaftaran perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1.Pasal
5 ayat (2) Undang-undang 1945;
2.Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara ;
3.Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4.Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun
1961 Nomor 28; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171);
MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAHAN TENTANG PERWAKAFAN
TANAH MILIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
*19097 Pasal 1
Yang
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan
(1)Wakaf
adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama
lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran agama islam.
(2)Wakif
adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah
miliknya.
(3)Ikrar
adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
(4)Nadzir
adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf.
BAB II
FUNGSI WAKAF
Bagian Pertama
Pasal 2
Fungsi
wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Bagian Kedua
Unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf
Pasal 3
(1)Badan-badan
hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya
serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah
miliknya dengan memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2)Dalam
hal Badan-badan Hukum, maka yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang
sah menurut hukum.
Pasal 4
Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah
milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.
Pasal 5
(1)Pihak
yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas
kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud
Pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf,
dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
*19098
(2)Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1)
dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 6
(1)Nadzir
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal 1 yang terdiri dari perorangan harus
memenuhi syarat-syarat berikut
a.warganegara
Republik Indonesia;
b.beragama
Islam;
c.sudah
dewasa;
d.sehat
jasmaniah dan rohaniah;
e.tidak
berada dibawah pengampuan;
f.bertempat
tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(2)Jika
berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan berikut :
a.badan
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b.mempunyai
perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(3)Nadzir
dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
setempat untuk mendapatkan pengesahan.
(4)Jumlah
Nadzir yang diperbolehkan untuk sesuatu daerah seperti dimaksud dalam ayat (3),
ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 7
(1)Nadzir
berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan
tujuan wakaf
(2)Nadzir
diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut
kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)Tatacara
pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agama.
Pasal 8
Nadzir
berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan macamnya
ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB III
TATACARA MEWAKAFKAN DAN
PENDAFTARANNYA
Bagian Pertama
Tatacara perwakafan tanah milik
*19099 Pasal 9
(1)Pihak
yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
(2)Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Agama.
(3)Isi
dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(4)Pelaksanaan
Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah, jika dihadiri
dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(5)Dalam
melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan tanah
diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat (2)
surat surat berikut :
a.sertifikat
hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
b.surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;
c.surat keterangan pendaftaran tanah;
d.izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.
b.surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;
c.surat keterangan pendaftaran tanah;
d.izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.
Bagian Kedua
Pendaftaran wakaf tanah milik
Pasal 10
(1)Setelah
Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) Pasal 9,
maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan,
diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq.
Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik
yang bersangkutan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
(2)Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah cq. kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima
permohonan tersebut dalam ayat (I) mencatat perwakafan tanah milik yang
bersangkutan pada bukti tanah dan sertifikatnya.
(3)Jika
tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang
dimaksudkan dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan
sertifikatnya.
(4)Oleh
Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksudkan
dalam ayat (2) dan (3).
(5)Setelah
dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya
seperti dimaksud dalam ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib
melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
BAB V
*19100 PERUBAHAN, PENYELESAIAN
PERSELISIHAN DAN PENGAWASAN PERWAKAFAN TANAH MILIK
Bagian Pertama
Perubahan perwakafan tanah milik
Pasal 11
(1)Pada
dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan
perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar
Wakaf.
(2)Penyimpangan
dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal
tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri
Agama, yakni :
a.karena
tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b.karena kepentingan umum.
b.karena kepentingan umum.
(3)Perubahan
status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai
akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat
untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Perwakafan
Tanah Milik
Pasal 12
Penyelesaian
perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan
melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengawasan Perwakafan Tanah Milik
Pasal 13
Pengawasan
perwakafan tanah milik dan tatacaranya diberbagai tingkat wilayah ditetapkan
lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 14
Barangsiapa
melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
Pasal 5, Pasal 6 ayat (3) Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 dan
Pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah).
Pasal 15
*19101
Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh-atau atas nama
Badan Hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tatatertib
dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi
perintah melakukan perbuatan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau
penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap keduaduanya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
(1)Perwakafan
tanah milik demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah ini, oleh Nadzir yang bersangkutan harus didaftarkan
kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat, untuk disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2)Cara-cara
dan pelaksanaan ketentuan tersebut dalam ayat (1) ditentukan lebih lanjut oleh
Menteri Agama.
Pasal 17
(1)Peraturan
dan atau ketentuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik sebagaimana
tercantum dalam Bijblad-Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Nomor 12573 Tahun 1931,
Nomor 13390 Tahun 1934, dan Nomor 13480 Tahun 1935 beserta ketentuan
pelaksanaannya, sepanjang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2)Hal-hal
yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan
di Jakarta pada 17 Mei 1977 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
*19102 SUDHARMONO, SH.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK
I.UMUM. Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut ditinjau dari sudut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pada waktu yang lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah milik ia tidak diatur secara tuntas dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakekat dan tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya beraneka ragam bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum, dan lain-lain) dan tidak adanya keharusan untuk didaftarkannya benda-benda yang diwakafkan, sehingga banyaklah benda-benda wakaf yang tidak diketahui lagi keadaannya. Malahan dapat terjadi, benda-benda yang diwakafkan itu seolah-olah sudah menjadi milik dari ahli waris pengurus(Nadzir).
Kejadian-kejadian
tersebut diatas menimbulkan keresahan dikalangan umat beragama, khususnya
mereka yang menganut agama Islam, dan menjurus ke arah antipati. Dilain pihak
banyak terdapat persengketaan-persengketaan tanah disebabkan tidak jelasnya
status tanahnya, sehingga apabila tidak segera diadakan pengaturan, maka tidak
saja akan mengurangi kesadaran beragama dari mereka yang menganut agama
Islam,bahkan lebih jauh akan menghambat usaha-usaha Pemerintah untuk
menggalakkan semangat dan bimbingan kewajiban ke arah beragama,sebagaimana terkandung
dalam ajaran Pancasila dan digariskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor IV/MPR/1973. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang diatur hanyalah
wakaf sosial (untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya
seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah ini. Pembatasan ini perlu diadakan untuk menghindari kekaburan
masalah perwakafan. Demikian pula mengenai bendanya dibatasi hanya kepada tanah
milik. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari kekacauan dikemudian hari.
Dalam
Undang-undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan
bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga
oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan
seperti halnya pemegang hak milik. Berhubung dengan masalah perwakafan tersebut
bersifat untuk selama-lamanya (abadi), maka hak atas tanah yang *19103 jangka waktunya
ter-batas tidak dapat diwakafkan.
Selanjutnya
dalam Peraturan Pemerintah ini diatur juga mengenai kepengurusan dari wakif
(Nadzir), tatacara perwakafan, tatacara pemberian hak dan tata cara untuk
mendapatkan kepastian hak atas tanah yang
diwakafkan.
UUPA dapat dilihat di http://ngada.org/uu5-1960bt.htm