Pencarian

Sabtu, 05 Oktober 2013

Hukum Agraria ( Perwakafan Tanah )


http://komunitasrumputliarblog.files.wordpress.com/2013/03/reformasi-hukum-agraria.jpg 
Hukum Agraria

A.    Latar Belakang
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 dalam Pasal 16 menerangkan harta benda yang dapat diwakafkan. Pasal ini menyebutkan bahwa benda bergerak dan benda tidak bergerak dapat menjadi objek wakaf (dapat diwakafkan). Ayat (2) dari Pasal 16 menerangkan : benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan meliputi hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum didaftar. Pasal ini tidak menerangkan pengertian wakaf tanah, namun secara tersurat pasal ini menjelaskan bahwa tanah hak milik yang merupakan benda tidak bergerak dapat diwakafkan.
Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf tanah adalah perbuatan hukum Seseorang atau Badan Hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentianagn peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam (Pasal 1 ayat 1 PP.No.28/1977 dan Pasal 1 Sub B Peraturan Menteri Agama No.1 tahun 1978).
Menurut PP.No.28 Tahun 1977, orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya disebut wakif, dan untuk adanya wakaf maka diperlukan adanya suatu Ikrar atau pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya. Sedangkan orang atau Badan Hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf disebut Nadzir.
Perwakafan ini harus dilakukan dimuka Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Menurut Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978, kepala kantor urusan agama (KUA) ditunjuk sebagi PPAIW. Sedangkan untuk administrasi perwakafan diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Menurut pasal 9 ayat (2) PP No. 28 tahun 1977 PPAIW ini diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. Akan tetapi demi efektifitas dan kelancaran pelaksanaan, maka dilakukan pendelegasian wewenang pengangkatan atau penunjukkan serta pemberhentian Kepala Kantor Urusan Agama sebagai PPAIW kepada kepala kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi atau setingkat, sesuai keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1978.

B.     Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah yang berjudul “Perwakafan Tanah” ini adalah:
1.         Apakah dasar hukum Pelaksanaan perwakafan di Indonesia?
2.         Bagimanakah tata cara perwakafan tanah?
3.         Bagaimakah ketentuan pidana dan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan dalam permasalahan wakaf tanah?
BAB II
PEMBAHASAN

       A.    Dasar Hukum Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia.
Adapun dasar hukum yang menjamin pelaksanaan perwakafan di Indonesia antara lain diatur dalam:
1.   Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik Jo PMA No. 1 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.
2.   Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
3.   Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah di ubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
4.   Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
5.   Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

      B.     Tata Cara Perwakafan Tanah Hak Milik.
Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut:
1.   Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya (sebagai calon wakif) diharuskan datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
2.   Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu menyerahkan kepada PPAIW, surat-surat sebagai berikut:
Ø  Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah.
Ø  Surat Keterangan Kepala Desa diperkuat oleh Camat setempat mengenai kebenaran pemilikan tanah dan tidak dalam sengketa.
Ø  Surat Keterangan pendaftaran tanah.
Ø  Ijin Bupati / Walikota c.q. Sub Direktorat Agraria setempat, hal ini terutama dalam rangka tata kota atau master plan city.
3.   PPAIW meneliiti surat-surat dan syarat-syarat, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nadzir.
4.   Di hadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan atau mengucapkan kehendak wakaf itu kepada nadzir yang telah disahkan. Ikrar wakaf tersebut diucapkan dengan jelas, tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis (ikrar wakaf bentuk W.1). Sedangkan bagi yang tidak bisa mengucapkan (misalnya bisu) maka dapat menyatakan kehendaknya dengan suatu isyarat dan kemudian mengisi blanko dengan bentuk W.1. Apabila wakif itu sendiri tidak dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan kemudian surat atau naskah tersebut dibacakan dihadapan nadzir setelah mendapat persetujuan dari Kandepag dan semua yang hadir dalam upacara ikrar wakaf tersebut ikut menandatangani Ikrar Wakaf (bentuk W.1).
5.   PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2) rangkap empat dengan dibubuhi materi menurut ketentuan yang berlaku dan selanjutnya, selambat-lambatnya satu bulan dibuat ikrar wakaf, tiap-tiap lembar harus telah dikirim dengan pengaturan pendistribusiannya sebagai berikut. Akta Ikrar Wakaf:
v  Lembar pertama disimpan PPAIW.
v  Lembar kedua sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran tanah wakaf ke kantor Subdit Agraria setempat (W.7).
v  Lembar ketiga untuk Pengadilan Agama setempat.
Salinan Akta Ikrar Wakaf :
v  Lembar pertama untuk wakif.
v  Lembar kedua untuk nadzir.
v  Lembar ketiga untuk Kandep. Agama Kabupatan / Kota.
v  Lembar keempat untuk Kepala Desa setempat.Disamping telah membuat Akta, PPAIW mencatat dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.4) dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik.

   C.    Bagaimakah ketentuan pidana dan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan dalam permasalahan wakaf tanah hak milik.
Negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi Hukum, sehingga segala pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan akan ditindak dan diberi sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi Administrasi sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Demikian pula dengan pelanggaran yang dilakukan dalam permasalahan wakaf terutama mengenai wakaf tanah.
Dalam UU. No. 41 tahun 2004 tentang wakaf disampaikan dengan jelas sanksi yang akan diterima apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan wakaf. Baik sanksi pidana maupun sanksi administratif. Bentuk pelanggaran dan berat sanksi yang diberikan termuat jelas dalam pasal 67 UU. No. 41 tahun 2004 yaitu:
Ayat (1) : Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghilangkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 atau tanpa menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, dipidana dengan pidana paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah ).
Ayat (2) : Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukkan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Ayat ( 3 ) : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagimana dimaksud dalam pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Sedangkan dibagian kedua pasal 68 UU. No. 41 tahun 2004 disebutkan kriteria pelanggaran mengenai perwakafan, sanksi, dan lembaga yang berhak memberikan sanksi yaitu berupa sanksi administratif, disebutkan dalam:
Ayat (1), Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya harta benda wakaf oleh Lembaga Keuangan Syariah dan PPAIW.
Ayat (2), Sanksi administratif sebagimana dimaksud ayat (1) berupa:
-          Peringatan tertulis
-          Penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi Lembaga Keuangan Syariah.
-          Penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW
Ayat (3) : Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) diatur dengan peraturan pemerintah.
Sangat jelas disebutkan didalam pasal-pasal diatas, mengenai bentuk pelanggaran dan Sanksi-sanksi mengenai tanah wakaf, Undang-undang tersebut yang bisa dianggap masih awal belum dapat terinterprestasikan dengan seharusnya. Seperti kita ketahui praktik perwakafan tanah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efesien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau teralih ketangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan, tujuan fungsi, dan peruntukan wakaf.

A.KESIMPULAN
Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut ditinjau dari sudut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Berhubung dengan masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selama-lamanya (abadi),maka hak atas tanah yang jangka waktunya terbatas tidak dapat diwakafkan. Dalam Undang-undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha, hak guna bangunan,hak pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik,oleh karena itu lebih mudah dan simple tanah yang sifatnya hak milik untuk di wakafkan.

PP 28/1977, PERWAKAFAN TANAH MILIK
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a.bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan material menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila;

b.bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan ;

c.bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tatacara dan pendaftaran perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat (2) Undang-undang 1945;
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara ;
3.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 28; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171);
MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAHAN TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
*19097 Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan
(1)Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam.
(2)Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya.
(3)Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
(4)Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
BAB II
FUNGSI WAKAF
Bagian Pertama
Pasal 2
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Bagian Kedua
Unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf
Pasal 3
(1)Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Dalam hal Badan-badan Hukum, maka yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
Pasal 4
Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.
Pasal 5
(1)Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
*19098 (2)Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 6
(1)Nadzir sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal 1 yang terdiri dari perorangan harus memenuhi syarat-syarat berikut
a.warganegara Republik Indonesia;
b.beragama Islam;
c.sudah dewasa;
d.sehat jasmaniah dan rohaniah;
e.tidak berada dibawah pengampuan;
f.bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.

(2)Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan berikut :
a.badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b.mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(3)Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan.
(4)Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk sesuatu daerah seperti dimaksud dalam ayat (3), ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 7
(1)Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan tujuan wakaf
(2)Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.
Pasal 8
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan macamnya ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB III
TATACARA MEWAKAFKAN DAN PENDAFTARANNYA
Bagian Pertama
Tatacara perwakafan tanah milik
*19099 Pasal 9
(1)Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
(2)Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
(3)Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(4)Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(5)Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat (2) surat surat berikut :
a.sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
b.surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;
c.surat keterangan pendaftaran tanah;
d.izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.
Bagian Kedua
Pendaftaran wakaf tanah milik
Pasal 10
(1)Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) Pasal 9, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
(2)Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (I) mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada bukti tanah dan sertifikatnya.
(3)Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang dimaksudkan dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.
(4)Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksudkan dalam ayat (2) dan (3).
(5)Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya seperti dimaksud dalam ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
BAB V
*19100 PERUBAHAN, PENYELESAIAN PERSELISIHAN DAN PENGAWASAN PERWAKAFAN TANAH MILIK
Bagian Pertama
Perubahan perwakafan tanah milik
Pasal 11
(1)Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf.
(2)Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni :
a.karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b.karena kepentingan umum.
(3)Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Perwakafan Tanah Milik
Pasal 12
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengawasan Perwakafan Tanah Milik
Pasal 13
Pengawasan perwakafan tanah milik dan tatacaranya diberbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 14
Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 5, Pasal 6 ayat (3) Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah).
Pasal 15
*19101 Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh-atau atas nama Badan Hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tatatertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap keduaduanya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
(1)Perwakafan tanah milik demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini, oleh Nadzir yang bersangkutan harus didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat, untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2)Cara-cara dan pelaksanaan ketentuan tersebut dalam ayat (1) ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
Pasal 17
(1)Peraturan dan atau ketentuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik sebagaimana tercantum dalam Bijblad-Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Nomor 12573 Tahun 1931, Nomor 13390 Tahun 1934, dan Nomor 13480 Tahun 1935 beserta ketentuan pelaksanaannya, sepanjang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2)Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta pada 17 Mei 1977 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, *19102 SUDHARMONO, SH.



PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK

I.UMUM. Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut ditinjau dari sudut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pada waktu yang lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah milik ia tidak diatur secara tuntas dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakekat dan tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya beraneka ragam bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum, dan lain-lain) dan tidak adanya keharusan untuk didaftarkannya benda-benda yang diwakafkan, sehingga banyaklah benda-benda wakaf yang tidak diketahui lagi keadaannya. Malahan dapat terjadi, benda-benda yang diwakafkan itu seolah-olah sudah menjadi milik dari ahli waris pengurus(Nadzir).
Kejadian-kejadian tersebut diatas menimbulkan keresahan dikalangan umat beragama, khususnya mereka yang menganut agama Islam, dan menjurus ke arah antipati. Dilain pihak banyak terdapat persengketaan-persengketaan tanah disebabkan tidak jelasnya status tanahnya, sehingga apabila tidak segera diadakan pengaturan, maka tidak saja akan mengurangi kesadaran beragama dari mereka yang menganut agama Islam,bahkan lebih jauh akan menghambat usaha-usaha Pemerintah untuk menggalakkan semangat dan bimbingan kewajiban ke arah beragama,sebagaimana terkandung dalam ajaran Pancasila dan digariskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang diatur hanyalah wakaf sosial (untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini. Pembatasan ini perlu diadakan untuk menghindari kekaburan masalah perwakafan. Demikian pula mengenai bendanya dibatasi hanya kepada tanah milik. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari kekacauan dikemudian hari.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik. Berhubung dengan masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selama-lamanya (abadi), maka hak atas tanah yang *19103 jangka waktunya ter-batas tidak dapat diwakafkan.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini diatur juga mengenai kepengurusan dari wakif (Nadzir), tatacara perwakafan, tatacara pemberian hak dan tata cara untuk mendapatkan kepastian hak atas tanah yang diwakafkan.
UUPA dapat dilihat di http://ngada.org/uu5-1960bt.htm