Jenis
Kekuasaan, dan Sistem Pemerintahan
Dalam mempelajari
ilmu Negara kita kerap ‘dipusingkan’ oleh berbagai macam istilah yang satu sama
lain saling berbeda. Peristilahan yang seringkali ditemukan tersebut misalnya
monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, mobokrasi, federasi,
kesatuan, konfederasi, presidensil, dan parlementer. Bagaimana kita harus
mengkategorikan masing-masing istilah tersebut?
Apa
perbedaan antara monarki dengan parlementer? Sama atau berbedakah.
Jika kita berbicara mengenai monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan mobokrasi, berarti kita tengah berbicara mengenai jenis-jenis kekuasaan. Jika kita berbicara mengenai federasi, kesatuan, dan konfederasi, berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk negara. Jika kita berbicara mengenai presidensil dan parlementer berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk pemerintahan.
Jika kita berbicara mengenai monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan mobokrasi, berarti kita tengah berbicara mengenai jenis-jenis kekuasaan. Jika kita berbicara mengenai federasi, kesatuan, dan konfederasi, berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk negara. Jika kita berbicara mengenai presidensil dan parlementer berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk pemerintahan.
Jika kita
berbicara mengenai jenis kekuasaan, berarti kita tengah berbicara mengenai
apakah kekuasaan itu dipegang oleh satu tangan (mono), beberapa tangan atau
orang (few), ataukah banyak tangan atau orang (many). Definisi kekuasaan adalah
kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain agar
mereka menuruti keinginan nya.
Jika kita berbicara mengenai bentuk negara, berarti kita tengah membicarakan bagaimana sifat atau hubungan antara kekuasaan pusat saat berhadapan dengan daerah. Hubungan seperti ini disebut pula sebagai hubungan vertikal, artinya ‘pusat’ diasumsikan berada di atas ‘daerah’, dalam mana keberadaan pusat di ‘atas’ tersebut berbeda derajatnya baik di negara kesatuan, federasi, atau konfederasi.
Jika kita berbicara mengenai bentuk negara, berarti kita tengah membicarakan bagaimana sifat atau hubungan antara kekuasaan pusat saat berhadapan dengan daerah. Hubungan seperti ini disebut pula sebagai hubungan vertikal, artinya ‘pusat’ diasumsikan berada di atas ‘daerah’, dalam mana keberadaan pusat di ‘atas’ tersebut berbeda derajatnya baik di negara kesatuan, federasi, atau konfederasi.
Akhirnya,
jika kita berbicara mengenai bentuk pemerintahan, berarti kita tengah berbicara
mengenai kekuasaan dalam arti horizontal, khususnya seputar hubungan antara
legislatif dengan eksekutif. Legislatif dan eksekutif, dalam doktrin Trias
Politika adalah setara, yang satu tidak lebih berkuasa atau lebih tinggi
posisinya ketimbang yang lain. Dalam hubungan horizontal inilah kita akan
menemui pembicaraan mengenai presidensil atau parlementer.
A.
Jenis-Jenis Kekuasaan
1. Monarki dan Tirani
Monarki
berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis kekuasaan politik di
mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para
pendukung monarki biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang
oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabilitas di dalam
proses pembuatan suatu kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang
beragam, atau persaingan antar kelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab
cuma ada satu kekuasaan yang dominan.
Negara-negara
yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini adalah Inggris, Swedia,
Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol.
Di negara-negara ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif,
misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah
masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan
Jepang pun masih menerapkan sistem monarki.
Namun, di negara-negara ini,
penguasa monarki harus berbagi kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen.
Proses berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-undang
Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern sesungguhnya bukan
lagi absolut melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan, kekuasaannya
hanya bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan
praktek pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Pada Negara monarki
yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa untuk menentukan
jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahannya.
Jenis
monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi. Negara ini berupa
kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan pemerintahan. Kekuasaan
raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi
di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti
al-Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya.
Bentuk
pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah Tirani. Tiran-tiran kejam
yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula,
Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara
modern, tetapi jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya
terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak mau membagi
kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat
sendiri maupun lawan politik.
2. Aristokrasi dan Oligarki
Dalam jenis
kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung pada dukungan yang
diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak
ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan
tidak lagi berada pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few).
Aristokrasi
sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di
mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang
besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari
orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai
jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi). Biasanya, di mana ada kelas
aristokrat yang dominan secara politik, maka di sana ada pula monarki. Namun,
jenis kekuasaan oleh beberapa orang ini (aristokrasi) tidak bertahan lama, oleh
sebab orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk mempengaruhi
keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi, kaya, berpengaruh, dan
cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para
bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai
peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.
3. Demokrasi dan Mobokrasi
Jika
kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few, maka
kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis
kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama
adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan
(representative democracy).
Demokrasi langsung berarti rakyat
memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung
demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini
mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi
langsung yaitu:
1. Jumlah warga negara harus kecil.
2. Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).
3. Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
4. Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.
2. Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).
3. Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
4. Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.
Di dalam
demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh sebab
kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses
pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman
pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno,
ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam
proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi
langsung, terutama oleh ketidak realistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan
negara modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi
perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun,
itu bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau
istana negara untuk memerintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di
dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan
Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota
parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan
tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi
wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen)
kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat
tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari
hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di
tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi
anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan demokrasi langsung di
mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya
mahal, bukan? Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis
ketimbang demokrasi langsung.
Dalam demokrasi, baik langsung
ataupun tidak langsung, keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama
penyelenggaraan negara. Masing-masing individu rakyat pasti ingin
kepentinganyalah yang terlebih dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut
ingin didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada
situasi chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes — perang semua
lawan semua), maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi. Mobokrasi
adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi
negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat
dibuat secara damai.
B. Bentuk Pemerintahan
Pemerintahan
tidak sekedar menyangkut pihak eksekutif, melainkan juga eksekutif. Dalam
pembicaraan mengenai bentuk pemerintahan, kita sekaligus menelaah hubungan
antara badan eksekutif dengan legislatif. Pembicaraan ini juga menyangkut bagaimana
proses perekrutan anggota eksekutif dan legislatif di suatu negara. Dua bentuk
pemerintahan yang paling luas digunakan negara-negara di dunia adalah
Parlementer dan Presidensil. Kedua bentuk tersebut memiliki mekanisme
perekrutan yang berbeda satu dengan lainnnya.
1. Bentuk Pemerintahan Parlementer
Dalam sistem
Parlementer, warganegara tidak memilih kepala negara secara langsung. Mereka
memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat, yang diorganisasi ke dalam
satu atau lebih partai politik. Umumnya, sistem Parlementer mengindikasikan
hubungan kelembagaan yang erat antara eksekutif dan legislatif.
Kepala pemerintahan dalam sistem
Parlementer adalah perdana menteri (disebut Premier di Italia atau Kanselir di
Jerman). Perdana menteri memilih menteri-menteri serta membentuk kabinet
berdasarkan suatu ‘mayoritas’ dalam parlemen (berdasarkan jumlah suara yang
didapat masing-masing partai di dalam Pemilu). Dalam bentuk pemerintahan
parlementer, pemilu hanya diadakan satu macam yaitu untuk memilih anggota
parlemen. Lewat mekanisme pemilihan umum, warganegara memilih wakil-wakil
mereka untuk duduk di parlemen. Wakil-wakil yang mereka pilih tersebut
merupakan anggota dari partai-partai politik yang ikut serta di dalam pemilihan
umum.
Jika sebuah partai memenangkan suara
secara mayoritas (misalnya 51% suara pemilih), maka secara otomatis, ketua
partai tersebut menjadi perdana menteri. Selanjutnya, tugas yang harus
dilakukan si perdana menteri ini adalah membentuk kabinet, di mana
anggota-anggota kabinet diajukan oleh para anggota parlemen terpilih, sehingga
anggota kabinet dapat berasal baik dari partainya sendiri maupun partai
saingannya yang punya jumlah suara signifikan. Menteri-menteri inilah yang
nantinya mengarahkan atau mengepalai kementerian-kementerian yang dibentuk.
Jika pemilu tidak menghasilkan
jumlah suara mayoritas (misalnya 30% hingga 50%), maka partai-partai harus
berkoalisi untuk kemudian memilih siapa perdana menterinya. Biasanya, partai
dengan jumlah suara paling besar-lah yang ketua partainya menjadi perdana
menteri di dalam koalisi (kabinet koalisi). Susunan kabinet pun, dengan koalisi
ini, tidak bisa dimonopoli oleh satu partai saja, layaknya ketika pemilu
menghasilkan suara mayoritas 51%. Masing-masing partai yang berkoalisi biasanya
menuntut ‘jatah’ menteri sesuai dengan jumlah suara yang mereka hasilkan dalam
pemilu. Untuk selanjutnya, perdana menteri (beserta kabinetnya) bertanggung
jawab kepada parlemen sebagai representasi rakyat hasil pemilihan umum.
Dalam bentuk
parlementer, perdana menteri menjadi kepala pemerintahan sekaligus pemimpin
partai. Dalam sistem parlementer, partai yang menang dan masuk ke dalam kabinet
menjadi ‘pemerintah’ sementara yang tetap berada di dalam parlemen menjadi
‘oposisi.’
Hal yang menarik adalah, anggota-angggota
parlemen yang menjadi oposisi membentuk semacam ‘kabinet bayangan.’ Jika
kabinet pemerintah ‘jatuh’, maka ‘kabinet bayangan’ inilah yang akan
menggantikannya lewat pemilu ‘yang dipercepat’ atau pemilihan perdana menteri
baru. Sistem ‘kabinet bayangan’ ini berlangsung efektif di Inggris di mana
‘kabinet bayangan’ tersebut bekerja layaknya kabinet pemerintah dan … digaji
pula.
2. Bentuk Pemerintahan Presidensil
Presidensil
cenderung memisahkan kepala eksekutif dari dewan perwakilan rakyat. Sangat sedikit
media tempat di mana eksekutif dan legislatif dapat saling bertanya satu sama
lain. Dalam sistem presidensil, pemilu diadakan dua macam. Pertama untuk
memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden. Presiden inilah yang
dengan hak prerogatifnya menunjuk pembantu-pembantunya, yaitu menteri-menteri
di dalam kabinet. Pola penunjukkan menteri oleh presiden ini efektif di dalam
sistem dua partai, di mana dengan dua partai yang bersaing tersebut, pasti
salah satu partai akan menang secara mayoritas. Di dalam sistem banyak partai,
penunjukkan menteri oleh presiden juga dapat efektif jika salah satu partai
memenangi suara hingga 51%.
Di Indonesia
yang bersistemkan presidensil, mekanisme penunjukkan anggota kabinet efektif di
masa pemerintahanan Suharto. Namun, di masa reformasi, pemenang pemilu,
misalnya PDI-P, hanya mengantongi sekitar 35% suara, dan itu tidaklah
mayoritas, sehingga di dalam menunjuk menteri-menteri Megawati harus
mempertimbangkan pendapat dari partai-partai lain, apalagi yang punya suara
cukup besar seperti Golkar, PPP, PAN, dan PKB.
Di dalam sistem presidensil,
presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) tetapi langsung kepada
rakyat. Sanksi jika presiden dianggap tidak ‘menrespon hati nurani rakyat’
dapat berujung pada dua jalan: pertama, tidak memilih lagi si presiden tersebut
dalam proses pemilihan umum, dan kedua, mengadukan pelanggaran-pelanggaran yang
presiden lakukan kepada parlemen. Parlemen inilah yang nanti menggunakan hak
kontrolnya untuk mempertanyan sikap-sikap presiden yang diadukan ‘rakyat’
tersebut. Jadi, berbeda dengan Parlementer di mana jika si perdana menteri
dianggap tidak bertanggung jawab, parlemen, terutama partai-partai oposisi,
dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada perdana menteri yang jika didukung
oleh 51% suara parlemen, si perdana menteri tersebut beserta kabinetnya
terpaksa harus mengundurkan diri— dalam sistem presidensil, hal seperti ini
sulit untuk dilakukan mengingat yang memilih si presiden bukanlah parlemen
melainkan rakyat secara langsung.
DAFTAR
PUSTAKA
Ilmu
Negara Soehino, SH. Edisi ke 2. 1986 Liberty Yogyakarta
Soekanto, Soerjono,.(1993)
Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung: Citra Aditya.
Drs. C.S.T. Kansil, S.H, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Negara. Balai
Pustaka Jakarta 1986
Jenis
kekuasaan dan Bentuk – Bentuk Negara” http://id.wikipediea.org/Jenis-kekuasaan/bentuk
negara/