Pencarian

Minggu, 06 Oktober 2013

Contoh Surat Gugatan Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial


“LEMBAGA BANTUAN HUKUM”
KELOMPOK 1(A3) FAKULTAS HUKUM UMSU
Jln. Khairil Anwar No.205 Telp. 061-66321456 Fax. (061) 66123654 E-mail : deddytsyah@gmail.com
MEDAN
 

No                   : 37/G/2013/PHI.Medan
Hal                  : Gugatan

Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Hubungan Industrial
Pada Pengadilan Negeri Medan
Di
Medan

Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini :
1. DEDDY TRI HERDIANSYAH,
2. TIRMIZI SYAH PUTRA,
Masing – masing adalah Advokat/Penasehat hukum pada Lembaga Bantuan Hukum “ KELOMPOK 1 (A3) FAK. HUKUM UMSU”, beralamat kantor di Jln. Khairil Anwar No.205 Medan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 25 April 2013, bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan hukum dari :

Nama                             : WINDA WATI
Tempat/Tgl Lahir            : Medan, 5 Juni 1988
Umur                             : 2 Tahun
Pekerjaan                      : Karyawan
NIK                              : 23021102867
Jabatan                          : Quick Order
Alamat                           : Jalan. Rajawali No.22 Medan.

Selanjutnya disebut PENGGUGAT-------------------------------------------------------------------------------------;

Dengan ini mengajukan gugatan kepada :
PT. CATUR SEJATI SELALU (CSS) Alamat Jln. Jend. Gatot Subroto No. 123 Medan, selanjutnya disebut TERGUGAT------------------------------------------------------------------------------------------------------;
Adapun duduk persoalan gugatan ini adalah sebagai berikut : 
1. Bahwa Penggugat telah bekerja pada Tergugat sejak tanggal 5 Juli 2008, dengan Nomor Induk Karyawan : 23021102867, jabatan terakhir sebagai Quick Order dengan upah terakhir sebesar Rp. 1.600.000.-(satu juta enam ratus ribu rupiah)/bulan; 
2. Bahwa selama bekerja pada Tergugat sejak tanggal 5 Juli 2008, Penggugat selalu menjalankan  tugas dan kewajibannya dengan baik dan tidak pernah melakukan suatu kesalahan yang merugikan Tergugat; 
3. Bahwa pada tanggal 14 Desember 2012, Penggugat merasa mual dan pusing sehingga terpaksa tidak dapat bekerja seperti biasa, lalu Penggugat pergi berobat ke Rumah Sakit terdekat dan menurut diagnosa Dokter menyatakan Penggugat sedang hamil, kemudian suami Penggugat mengantarkan surat keterangan sakit ke kantor Tergugat; 
4. Bahwa karena sering pusing dan muntah – muntah, dalam bulan Desember 2012 Penggugat beberapa hari tidak dapat bekerja dan selalu menyampaikan surat keterangan sakit, sehingga pada bulan Desember 2012 Penggugat tidak pernah absent (tidak datang tanpa alasan); 
5. Bahwa pada bulan Januari 2013, Penggugat juga terpaksa tidak bekerja dalam beberapa hari, dan Penggugat selalu menyampaikan surat keterangan sakit ke kantor Tergugat, dan Penggugat tidak pernah absent atau mangkir dari pekerjaanya; 
6. Bahwa, ketika Penggugat masih dalam keadaan sakit, Tergugat mengirim Surat Panggilan Pertama tertanggal 2 February 2013 untuk datang hadir tanggal 4 February 2013, namun karena kondisi Penggugat masih dalam keadaan sakit dan harus istirahat, Penggugat menyuruh suami Penggugat mendatangi kantor Tergugat dan memberitahukan kondisi Penggugat masih dalam keadaan sakit; 
7. Bahwa Penggugat tidak menerima Surat Panggilan Kedua, karena pada tanggal 7 February  Penggugat tidak berada di rumah karena sedang berobat ke Klinik, sehingga Penggugat tidak menerima Surat Panggilan Kedua; 
8. Bahwa selanjutnya tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas serta tanpa ijin pejabat yang berwenang, Tergugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Penggugat pada tanggal 14 February 2013 dengan Surat Keterangan Pemutusan Hubungan Kerja No. 0245/HRD-II/CMSS/II/2013, tanpa memberikan Surat Peringatan terlebih dahulu sebagaimana yang diharuskan dalam (Pasal 161 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), dan Tergugat juga tidak memberikan hak-hak Normatif Penggugat seperti uang pesangon, upah penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima dan upah selama proses sebagaimana diatur dalam (Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan); 
9. Bahwa tindakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan Tergugat merupakan tindakan sepihak dan sewenang-wenang, tanpa dirundingkan lebih dulu dan tanpa mendapat penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan tidak sesuai dengan (Pasal 151 ayat (2) dan (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), sehingga berdasarkan (Pasal 151 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), Pemutusan Hubungan Kerja tersebut adalah batal demi hukum; 
10. Bahwa berdasarkan (Pasal 153 ayat (1) huruf a dan e) menyatakan : “ Pengusaha dilarang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan pekerja sakit dan pekerja perempuan hamil”, sehingga Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan Tergugat secara hukum tidak sah; 
11. Bahwa karena Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan Tergugat tanpa membayar hak-hak normatif tergugat, maka sesuai ketentuan (Pasal 159 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), menyebutkan : “ Apabila pekerja/buruh tidak menerima Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; 
12. Bahwa tindakan Tergugat yang tanpa dasar hukum dan tanpa penetapan dari Kantor Dinas         Tenaga Kerja (vide Pasal 151 ayat (3) UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap penggugat pada tanggal 14 February 2013 bertujuan agar Tergugat terhindar dari kewajiban pembayaran hak-hak normatif Penggugat seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang pengganti hak dan upah selama proses, jelas-jelas adalah tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad); 
13. Bahwa guna menyelesaikan perselisihan, Penggugat telah menempuh upaya mediasi melalui mediator pada Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara, yang menganjurkan sesuai Surat No. 596-6/DTK-TR/2013 tertanggal 8 April 2013, sebagai berikut :
  • Bahwa Sdr. Winda Wati dinyatakan telah melakukan jenis kesalahan berat dan atau diskualifikasi mengundurkan diri, dan PT. Catur Sejati Selalu (CSS) tidak diwajibkan membayar pesangon; 
  • Bahwa Sdr. Winda Sari Silalahi agar dapat menerima kompensasi uang pisah yang ditawarkan oleh PT. Catur Sejati Selalu sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) ditambah 2 (dua) bulan upah sebesar Rp. 3.200.000,- (tiga juta dua ratus ribu rupiah) sebagai bentuk penyelesaian kasus ini;
14. Bahwa Penggugat sangat keberatan dengan anjuran tersebut, karena tidak sesuai dengan (Pasal 156 ayat
(2), (3), dan (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) yang mana dalam anjuran tersebut tidak
dimasukan hak-hak normatif Penggugat seperti uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja, uang
pengganti hak dan upah selama proses, dengan perincian :
·         Uang pesangon : 5 x Rp. 1.600.000,- x 2                                       = Rp. 16.000.000,-
·         Uang penghargaan masa kerja : 2 bulan x Rp. 1.600.000,-             = Rp.   3.200.000,- +
  Rp. 19.200.000,-
·         Uang pengganti hak penggobatan dan perumahan :
15% x Rp. 19.200.000,-                                                              = Rp.   2.880.000,-
·         Upah proses menuju PHK : 6 x Rp. 1.600.000,-                           = Rp.   9.600.000,-
Jumlah                                                                                        = Rp. 31.680.000,-
Terbilang (Tiga puluh satu juta enam ratus delapan puluh ribu rupiah);

15. Bahwa dengan demikian jumlah tersebut harus dibayarkan Tergugat kepada Penggugat secara tunai,
seketika, dan sekaligus;

16. Bahwa untuk menjaga agar tuntutan Penggugat tidak menjadi hampa/nihil nantinya setelah putusan
perkara ini berkekuatan hukum tetap, maka dimohonkan kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara ini agar berkenan meletakan sita jaminan (Conservatoir beeslag) terhadap aset
Tergugat baik bergerak maupun tidak bergerak, terutama terhadap : 
· 1 (satu) unit Mobil Toyota Avanza No. Pol BK 1564 JF. 
· 1 (satu) unit Mobil Isuzu Panther   No. Pol BK 9796 JF.
17. Bahwa gugatan ini diajukan berdasarkan bukti-bukti otentik, maka patut dan beralasan menurut hukum
bila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan menyatakan putusan dalam perkara
ini dapat dilaksanakan secara serta merta meskipun ada perlawanan, banding maupun kasasi (Uit voebaar
bijvoraad);
18. Bahwa oleh karena timbulnya perkara ini akibat kesalahan Tergugat, maka patut dan beralasan menurut
hukum, bila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menghukum Tergugat membayar
seluruh biaya yang timbul dalam penyelesaian perkara ini;
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, Penggugat memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Medan cq. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini
untuk menetapkan satu hari persidangan dan memanggil para pihak yang berperkara agar datang menghadap
dan selanjutnya  mengambil keputusan sebagai berikut :
 I.    Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
II.   Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat
bertentangan dengan ketentuan hukum;
III. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus demi hukum;
IV. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat berupa uang pesangon, uang masa 
penghargaan masa kerja, uang pengganti hak dan uang proses menuju PHK dengan rincian sebagai 
berikut :

·         Uang pesangon : 5 x Rp. 1.600.000,- x 2                                       = Rp. 16.000.000,-
·         Uang penghargaan masa kerja : 2 bulan x Rp. 1.600.000,-             = Rp.   3.200.000,- +
  Rp. 19.200.000,-
·         Uang pengganti hak penggobatan dan perumahan :
15% x Rp. 19.200.000,-                                                               = Rp.   2.880.000,-
·         Upah proses menuju PHK : 6 x Rp. 1.600.000,-                            = Rp.   9.600.000,-
Jumlah                                                                                        = Rp. 31.680.000,-
Terbilang (Tiga puluh satu juta enam ratus delapan puluh ribu rupiah);
V.     Menyatakan sah dan meletakan sita jaminan (Conservatoir beeslag) pada aset Tergugat;
VI.  Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan secara serta merta meskipun ada 
perlawanan, banding maupun kasasi (uit voebaar bijvoraad);
VII.Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini;
Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex aquo et bono).


1. DEDDY TRI HERDIANSYAH                                               2. TIRMIZI SYAH PUTRA                                                                                                                         
                                                                                                                  Materai 6000

Makalah Hukum Pajak



http://www.pajak.go.id/sites/default/files/field/image/tax_law.jpg 
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai amanat undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Pajak bagi kelangsungan pembangunan Negara sangatlah penting. Karena itu pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) masyarakat. Namun, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan  hal yang kompleks.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu pajak dan jenis – jenis pajak;
2. Sistem pemungutan pajak;
3. Kendala dan hambatan yang dialami dalam pemungutan pajak di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

PAJAK DAN JENIS – JENIS PAJAK
A.  PENGERTIAN PAJAK
Menurut beberapa ahli, pengertian pajak dapat diartikan sebagai berikut :
1. Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor 
swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang 
langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan.
2. Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepada
negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber
utama untuk membiayai ‘public investment’. Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang
terdapat dalam pajak ialah :
Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya; 
- Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat dikenakan sanksi; 
- Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah; 
- Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih
surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.

3. Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui
norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam
hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. 

4. Menurut Prof. Dr .P. J. A Adriani pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan)
yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan UU dengan tidak mendapat prestasi kembali
yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran yang
berhubungan dengan tugas Negara dan pemerintahan.
Sebenarnya masih banyak lagi para ahli dan pakar perpajakan yang mengemukakan pengertian pajak
dengan menggunakan kalimat masing-masing.

B. JENIS – JENIS PAJAK
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi : 
1. Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas

penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang
mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang
dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang
PPN. 
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena
pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah adalah :
Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status sosial.
4. Bea Meterai adalah  pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan benda materai atau
benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak. 
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan
bangunan (property tax). 
6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ) BPHTB adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh
Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah
baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain pajak-pajak yang dikelola Pemerintah Pusat juga terdapat pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:
Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Pajak Kabupaten / Kota
a. Pajak Hotel,
b. Pajak Restoran,
c. Pajak Hiburan,
d. Pajak Reklame / Iklan,
e. Pajak Penerangan Jalan, 
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
 
SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
A.      SISTEM YANG DIGUNAKAN DALAM PAJAK
Pada dasarnya terdapat 3 ( tiga ) cara / system yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang terutang oleh seseorang, yaitu :
1.        Official Assesment System
Official Assesment System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiskus. Dalam system ini utang pajak timbul bila telah ada ketetapan pajak dari fiskus ( sesuai dengan ajaran formil tentang timbulnya utang pajak ). Jadi dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif.
2.      Self Assesment System
Self Assesment System yaitu system pemungutan pajak dimana wewenang menghitung besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak diserahkan oleh fiskus kepada wajib pajak yang bersangkutan, sehingga dengan sisten ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak ( KPP ), sedangkan fiskus bertugas memberikan penerangan dan pengawasan.
3.        With Holding System
With Holding System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang dihitung oleh pihak ketiga ( yang bukan wajib pajak dan juga bukan aparat pajak / fiskus ).
Di Indonesia, ada bermacam-macam jenis pengenaan pajak. Pajak yang digali pemerintah antara lain adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan. Sistem pemungutan pajak yang digunakan saat ini adalah Self Assessment System dimana Wajib Pajak diberi kesempatan untuk melaporkan, menghitung, dan melaksanakan pembayaran pajak yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak dengan sistem pemungutan semi self assesment dimana pihak fiskus yang lebih proaktif dan kooperatif melakukan penghitungan, penetapan pajak terutang dan mendistribusikan kepada pemerintah daerah melalui Dinas Pendapatan Daerah berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang diisi oleh Wajib Pajak atau verifikasi pihak fiskus di lapangan. Pemerintah daerah melaui Kelurahan/Desa bahkan mendistribusikan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sampai ketangan Wajib Pajak dan juga menerima pembayaran PBB. Penyetoran pajak terutang selain melaui petugas pemungut kelurahan/desa, juga dapat dilakukan di Bank/Kantor Pos yang telah ditunjuk dalam SPPT dan juga melalui e-payment, transaksi pembayaran melaui perangkat elektronik perbankan, yaitu melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), Internet Banking ataupun Teller Bank yang online di seluruh Indonesia. Kebijakan-kebijakan diatas diberlakukan oleh pemerintah melalui Direktorat Jendral Pajak sebagai instansi yang berwenang mengurus masalah pajak dengan tujuan mempermudah Wajib Pajak PBB melaksanakan kewajibannya dibidang perpajakan sehingga kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak yang selama ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik dapat diminimalisir dengan segala kemudahan yang diberikan. Sehingga target penerimaan negara yang berasal dari pajak, khususnya Pajak Bumi dan Bangunan tercapai dengan maksimal.

FAKTOR YANG MENGHAMBAT PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA
A.  FAKTOR – FAKTOR YANG MENJADI KENDALA
            Dalam penerapannya banyak sekali kendala – kendala yang dialami oleh badan perpajakan dalam memungut pajak dari setiap wajib pajak, selain karena semakin hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pajak karena maraknya kasus – kasus korupsi yang menjerat pegawai pajak, tidak hanya itu masih banyak faktor – faktor lain yang menghambat jalannya pemungutan pajak di Indonesia antara lain : 
  1. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat.
Dalam pemungutan pajak dituntut kesadaran setiap warga Negara yang menjadi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban kenegaraannya. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak untuk membayar pajak ke negara mengakibatkan timbulnya penolakan dan perlawanan terhadap pajak yang merupakan kendala dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara.
       Perlawanan terhadap pajak tersebut terdiri dari perlawanan aktif dan perlawanan pasif, yaitu :
1) Perlawanan Pasif.
Perlawanan yang inisiatifnya bukan dari wajib pajak itu sendiri tetapi terjadi karena keadaan yang ada di sekitar wajib pajak itu. Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara, perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri.
· Struktur ekonomi : Struktur ekonomi suatu Negara mempengaruhi pemungutan pajak di negara
tersebut. Hal ini terkait dengan penghitungan pendapatan netto oleh wajib pajak sesuai dengan norma
perhitungannya.
· Perkembangan moral dan intelektual penduduk : Di desabkan ketidaktahuan masyarakat mengenai
pentingnya pajak bagi pembangunan Negara, dan kurangnya sosialisai dari pemerintah tentang wajib
pajak.
· Cara / gaya hidup masyarakat : Gaya hidup masyarakat di suatu negara mempengaruhi besar kecilnya
penghasilan yang mereka peroleh dan besar kecilnya penghasilan tersebut mempengaruhi besar kecilnya
penerimaan kas negara.
· Mekanisme pemungutan pajak yang rumit : Perhitungan pajak yang rumit dan memerlukan pengisian
formulir yang rumit menyebabkan adanya penghindaran pajak, prosedur yang berbelit-belit yang
menyulitkan pembayar pajak dan membuka celah untuk negosiasi antara petugas dan pembayar pajak
juga dapat mengakibatkan adanya penghindaran pajak, maka perlu diadakan penyuluhan pajak untuk
menghindari adanya perlawanan pasif terhadap pajak.
2) Perlawanan aktif
Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib pajak itu sendiri. Hal ini merupakan usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap fiscus dan bertujuan untuk menghindari pajak atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya dibayar. Ada tiga cara perlawanan aktif terhadap pajak, yaitu:
1) Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Penghindaran yang dilakukan wajib pajak masih dalam kerangka peraturan perpajakan. Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang. Penghindaran pajak dilakukan dengan tiga cara, yaitu: 
- Menahan Diri, yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang
bisa dikenai pajak.
· Pindah Lokasi, yaitu memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke
lokasi yang tarif pajaknya lebih rendah.
· Penghindaran Pajak Secara Yuridis
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena
pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal
inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Celah undang-undang
merupakan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Suatu undang-undang dirumuskan tidak
jelas karena kesengajaan maupun ketidaksengajaan pembuat Undang-Undang. Kesengajaan pembuat
undang-undang terjadi karena latar belakang politis dari pembuat undang-undang tersebut.

BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN

1. Pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan. Pajak dibayarkan oleh wajib pajak pada saat jatuh tempo atau pada saat melakukan hal – hal yang dapat dikenakan pajak, Melalui pembayaran pajak Negara dapat membiayai kepentingan Negara dan membangun sarana dan prasarana yang dapat berguna bagi kepentingan umum.
jenis pajak dapat dibagi menjadi :
Pajak Penghasilan (PPh),
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Bea Meterai
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB )

Selain  itu juga terdapat pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:
Pajak Propinsi, yang meliputi : 
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, 
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, 
Pajak Kabupaten / Kota, yang meliputi : 
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Iklan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Galian
Golongan C, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah.

2.  Sistem pemungutan pajak terdiri dari 3 cara : 
Official Assesment System
Official Assesment System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiskus.
Self Assesment System
Self Assesment System yaitu system pemungutan pajak dimana wewenang menghitung besarnya pajak yang terutang diserahkan kepada wajib pajak, sehingga dengan sistem ini wajib pajak aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak, sedangkan fiskus bertugas memberikan penerangan dan pengawasan.
With Holding System
With Holding System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang dihitung oleh pihak ketiga ( yang bukan wajib pajak dan juga bukan aparat pajak / fiskus ).

3. Faktor  yang mempengaruhi kewajiban membayar pajak seharusnya datang dari kesadaran diri wajib pajak sebagai warga Negara yang harus melaksanakan kewajibannya. Kewajiban untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu atau membayar pajak kepada negara merupakan suatu kewajiban bagi warga negara, mengingat negara mempunyai kekuatan untuk memaksa warga negara agar membayar pajak atas dasar Undang-Undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat saat ini ialah kurangnya kesadaran warga negara akan kewajiban pembayaran pajak, bahkan bagi sebagian orang, pemungutan pajak dianggap sebagai suatu pemaksaan bagi warga negara. Memang ketika membayar pajak, wajib pajak tidak mendapatkan jasa timbal balik yang dapat ditunjukkan secara langsung, namun perlu kita ketahui bahwa kewajiban untuk membayar pajak tersebut diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun untuk pembangunan yang akan berguna bagi warga Negara.



DAFTAR PUSTAKA

Brotodiharjo, Santoso, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama
Undang – undang No.6 tahun 1983 tentang pajak
Undang – undang No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajaka 

Dikutip dari berbagai sumber internet :
http://ilmu27.blogspot.com/2012/08/hukum-pajak.html.
http:// id.wikipedia.org/wiki/pajak
http://4iral0tus.blogspot.com/2010/04/hukum-pajak-permasalahan-pajak.html
http://dodzjr.woedpress.com/2012/05/30/makalah-tentang-hukum-pajak/
www.kajianpustaka.com/2012/10/definisi-pajak-dan-jenis-jenis-pajak.html